Pisau Bermata Dua yang Wajib Kita Pahami Bersama AI Sahabat Baru Anak atau Ancaman Tersembunyi

Namun, ada sisi lain yang perlu kita waspadai. Psikolog klinis Arnold Lukito mengingatkan bahwa AI, seperti pisau bermata dua, juga bisa membawa dampak negatif jika tidak dipantau. Respons cepat dan personal dari AI bisa memicu ketergantungan layaknya adiksi. Jika anak terlalu sering bergantung pada solusi instan yang ditawarkan AI, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah mereka bisa menurun. Proses belajar yang membentuk daya juang sejati bisa terlewatkan, karena anak terbiasa dengan kemudahan instan. Inilah salah satu dampak AI pada anak yang perlu kita perhatikan.

Hubungan Emosional Anak dan AI: Apakah Ada Risikonya?

Lebih jauh, psikolog anak Sarah Aurelia Saragih menyoroti potensi gangguan pada perkembangan afeksi anak. Interaksi intens dengan AI bisa membuat anak lebih nyaman berinteraksi dengan mesin ketimbang manusia. AI yang selalu tersedia 24/7 dan terkesan empatik bisa menggantikan peran teman atau orang tua. Untuk anak yang sudah merasakan kesepian, AI justru bisa mempercepat pola menarik diri dari interaksi sosial nyata. Fenomena ini memunculkan apa yang disebut loneliness paradox: secara teknologi tidak sendiri, tapi secara emosional mereka kosong.

Sarah menegaskan bahwa AI bukanlah akar masalah, melainkan "akselerator" dari masalah yang sudah ada. Jika anak sudah kesepian, AI bisa membuatnya makin tertutup. Jika anak sering membandingkan diri, kehadiran avatar digital malah bisa memperdalam krisis identitas. Diprediksi, dalam 5-10 tahun ke depan, kasus gangguan kelekatan (attachment issues), penurunan empati, dan distorsi realitas sosial bisa meningkat drastis akibat terlalu intensnya interaksi dengan AI. Ini tentu menjadi perhatian serius bagi masa depan anak-anak kita.

Urgensi Regulasi AI di Indonesia: Sudah Siapkah Kita

Yang tak kalah penting dan sering jadi pertanyaan adalah, kenapa belum ada regulasi AI yang spesifik mengatur penggunaannya oleh anak-anak di Indonesia? Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, mengakui bahwa AI bisa sangat berbahaya jika tidak digunakan secara bijak. AI bisa membuka akses anak ke konten kekerasan atau pornografi, yang tentu sangat mengkhawatirkan.

Meskipun Kementerian PPPA sedang menyiapkan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring, yang akan mulai menyentuh teknologi digital termasuk AI, kenyataannya perkembangan AI jauh lebih cepat daripada proses regulasi. Saat ini, anak-anak sudah bisa membuat suara palsu (voice cloning), gambar deepfake, atau bahkan menggunakan persona digital untuk berbagai tujuan di dunia maya.

Psikolog klinis Annisa Axelta dari Eka Hospital Bekasi juga menyuarakan perlunya regulasi yang jelas dan spesifik. Tanpa aturan yang kuat, anak-anak bisa mengakses apa pun tanpa pengawasan yang memadai. AI bisa menjadi "pendidik alternatif" yang tidak memiliki empati, tidak mengenal nilai, dan tidak tahu batas. Oleh karena itu, regulasi AI menjadi sangat mendesak demi melindungi generasi penerus.

Melindungi Masa Depan Anak di Era AI: Apa Peran Kita?

Melihat berbagai tantangan dan potensi dari Kecerdasan Buatan (AI), peran kita sebagai orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan menjadi sangat krusial. Penting bagi kita semua untuk memahami baik-buruknya dampak AI pada anak, serta aktif mengawasi dan membimbing mereka dalam penggunaan teknologi ini. Pembahasan tentang teknologi dan anak harus terus didorong agar kita bisa menemukan keseimbangan terbaik.

Fasilitas KampusTazkia BangunanAsrama LapanganBasket