Jadi, kalau kata BPS tingkat pengangguran turun, kenapa ya di lapangan rasanya masih banyak yang teriak susah cari kerja? Dan apa sih yang bikin lulusan sarjana sekalipun masih 'kesulitan' di pasar kerja?
Angka Turun, Tapi Realita di Lapangan Berbeda?
Data BPS memang menunjukkan penurunan tingkat pengangguran. Itu artinya, secara statistik, jumlah orang yang tidak punya pekerjaan dan aktif mencari kerja memang berkurang. Namun, penurunan angka ini bisa jadi punya banyak tafsir.
Mungkin saja, penurunan itu terjadi karena banyak orang yang akhirnya "menyerah" mencari kerja dan tidak lagi masuk kategori pengangguran terbuka. Atau, banyak yang beralih ke sektor informal, pekerjaan serabutan, atau memulai usaha kecil-kecilan tanpa jaminan pekerjaan yang stabil. Intinya, mereka bekerja, tapi bukan pekerjaan impian dengan penghasilan dan jaminan yang layak.
Realita di lapangan seringkali menunjukkan bahwa lapangan kerja yang tersedia belum sebanding dengan jumlah pencari kerja, apalagi untuk pekerjaan dengan kualitas yang baik. Banyak lulusan baru atau bahkan yang sudah berpengalaman, merasa persaingan makin ketat dan kesempatan makin sedikit.
Mengapa Lulusan Sarjana pun Susah Dapat Kerja?
Ini dia fenomena yang cukup menarik dan sering bikin kita geleng-geleng. Dulu, kuliah tinggi itu jaminan dapat pekerjaan bagus. Sekarang? Lulusan sarjana pun banyak yang masih kesulitan mencari kerja yang sesuai bidang atau ekspektasi gaji. Kenapa bisa begitu?
1. "Skill Gap" antara Kampus dan Industri: Kurikulum di kampus seringkali belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan skill yang dicari industri saat ini. Perusahaan butuh keterampilan praktis, digital, dan soft skill yang kadang belum maksimal diajarkan di bangku kuliah.
2. Minim Pengalaman: Banyak posisi entry-level pun kini mensyaratkan pengalaman. Nah, ini jadi dilema klasik buat fresh graduate. Gimana mau punya pengalaman kalau buat dapat kerja aja susah?
3. Jumlah Lulusan vs. Ketersediaan Lapangan Kerja: Setiap tahun, ribuan sarjana baru diwisuda. Sementara itu, pertumbuhan lapangan kerja formal yang berkualitas tidak secepat pertambahan jumlah lulusan. Ini menciptakan persaingan yang sangat ketat.
4. Ekspektasi Gaji dan Posisi: Kadang, ekspektasi gaji atau posisi yang diinginkan lulusan sarjana tidak sesuai dengan realita pasar atau tawaran yang ada, terutama di awal karier.
5. Pergeseran Tipe Pekerjaan: Dengan otomasi dan perkembangan teknologi, beberapa jenis pekerjaan manual atau rutin mulai berkurang. Pekerjaan yang muncul kini seringkali membutuhkan skill yang lebih spesifik dan adaptif.
Solusi Terbaik untuk Negeri Ini: Kolaborasi dan Adaptasi!
Melihat kompleksnya masalah ini, tentu tidak ada solusi tunggal yang instan. Tapi, kita bisa mencoba beberapa strategi terbaik yang melibatkan berbagai pihak:
1. Penyelarasan Kurikulum Pendidikan dengan Kebutuhan Industri: Pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri harus duduk bersama merumuskan kurikulum yang relevan. Perbanyak program magang, bootcamp skill intensif, dan sertifikasi yang diakui industri. Ini penting agar lulusan punya skill yang benar-benar dibutuhkan pasar kerja.
2. Dorong Kewirausahaan dan Ekonomi Kreatif: Tidak semua orang harus jadi karyawan. Pemerintah perlu terus memfasilitasi dan mendukung generasi muda untuk menciptakan lapangan kerja sendiri melalui program kewirausahaan, inkubator bisnis, dan akses permodalan yang mudah.
3. Peningkatan Kualitas dan Akses Pelatihan Kerja: Bagi mereka yang sudah lulus atau bahkan sudah bekerja namun ingin reskilling atau upskilling, akses terhadap pelatihan berkualitas harus diperluas dan dipermudah. Ini termasuk pelatihan di bidang digital, data science, atau green jobs.
4. Data Pasar Kerja yang Lebih Akurat dan Rinci: BPS dan Kemenaker bisa menyediakan data yang lebih detail mengenai jenis pekerjaan apa yang paling dibutuhkan, skill apa yang langka, dan di sektor mana pertumbuhan paling cepat. Informasi ini sangat penting bagi calon pekerja, kampus, dan pembuat kebijakan.
5. Mendorong Investasi Padat Karya dan Teknologi Adaptif: Pemerintah perlu menarik investasi yang tidak hanya padat modal tapi juga menciptakan banyak lapangan kerja yang layak. Penting juga untuk memastikan bahwa adopsi teknologi tidak serta merta menghilangkan pekerjaan, melainkan mentransformasi pekerjaan dan menciptakan peran baru.
Menyikapi isu pengangguran ini, angka statistik memang penting, tapi kita tidak boleh melupakan realita di lapangan. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga pendidikan, dan individu itu kuncinya. Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa setiap individu, tak peduli latar belakang pendidikannya, punya kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan berkontribusi untuk negeri.