Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan ekonom dan pakar keuangan. Salah satu Guru Besar di Indonesia, Telisa Aulia Falianty, mengingatkan pemerintah, Bank Indonesia, dan pihak berwenang lainnya untuk ekstra hati-hati dalam mengawal pergerakan nilai tukar rupiah.

Telisa Aulia Falianty menekankan pentingnya langkah antisipatif yang harus diambil oleh otoritas moneter Indonesia untuk mencegah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai level yang lebih tinggi. 

Menurutnya, jika dolar terhadap rupiah tembus hingga Rp 17.000 per dolar AS, kerugian ekonomi yang lebih besar akan dihadapi oleh masyarakat Indonesia. 

Meskipun ia menyatakan kondisi ini tidak akan sampai menyebabkan krisis moneter seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998, dampak negatifnya tetap harus diwaspadai.

"Dulu kan overshoot-nya dari Rp 5.000 ke Rp 17.000, kalau sekarang kan dari Rp 14.000 lah ke Rp 17.000, jadi belum krisis. Krisis itu mungkin kalau Rp 20.000 lah sudah itu baru," tegas Telisa. 

Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun nilai tukar rupiah mengalami tekanan, situasi saat ini belum mencapai titik krisis seperti pada masa lalu.

Namun, Telisa tetap mewanti-wanti pemerintah dan otoritas moneter untuk tidak membiarkan kurs rupiah tembus di level Rp 16.500 per dolar AS. 

Ia menjelaskan bahwa jika level psikologis ini tertembus, akan terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan. 

Sentimen negatif ini, jika tidak dijinakkan, berpotensi merosotkan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 17.000 per dolar AS.

"Jadi, kalau ditanya sampai berapa ya probability ke Rp 17.000 per dolar AS sih ada ya. Nanti habis Rp 17.000 mungkin ada equilibrium baru," kata Telisa. Ia mengisyaratkan bahwa jika nilai tukar rupiah terus tertekan, pasar mungkin akan mencari keseimbangan baru pada level yang lebih tinggi.

Dalam rapat kerja dengan Bank Indonesia (BI) yang berlangsung pada Senin (24/6/2024), Anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP, Eriko Sotarduga, juga mengungkapkan keheranannya terhadap tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini. 

Ia menekankan bahwa tekanan terhadap rupiah tidak bisa dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja.

Menurut Eriko, situasi ini memerlukan evaluasi yang lebih sering dan intensif. Ia mengusulkan agar frekuensi rapat dengan Bank Indonesia ditingkatkan, serupa dengan situasi selama pandemi Covid-19 ketika rapat diadakan seminggu sekali.

"Ke depan evaluasi harus lebih sering, kalau zaman Covid-19 kita rapat dengan BI seminggu sekali, mungkin ke depan bisa sebulan sekali, ini tidak bisa dianggap biasa-biasa saja," ujarnya.

Situasi ini menandakan pentingnya kerjasama antara pemerintah, Bank Indonesia, dan lembaga terkait lainnya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. 

Upaya-upaya seperti intervensi pasar, kebijakan moneter yang tepat, dan komunikasi yang baik dengan pelaku pasar menjadi kunci dalam menghadapi tekanan ini.

Di sisi lain, masyarakat juga diimbau untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka di tengah fluktuasi nilai tukar ini. 

Investasi yang cerdas, pengelolaan utang yang baik, dan konsumsi yang bijaksana menjadi beberapa langkah yang bisa diambil untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Meskipun situasi nilai tukar saat ini belum mencapai tingkat krisis, kewaspadaan tetap harus dijaga. 

Pengalaman masa lalu menunjukkan betapa pentingnya kesiapan dan respons cepat dalam menghadapi tekanan ekonomi. 

Dengan kerjasama yang baik antara pemerintah, otoritas moneter, dan seluruh elemen masyarakat, Indonesia diharapkan dapat melewati situasi ini dengan baik.