Namun, sebenarnya terdapat perbedaan dalam penanggalan Jawa dan Hijriah. Tanggal satu Suro merupakan tanggal awal tahun baru Jawa, sementara satu Muharram adalah tanggal awal tahun baru Islam. 

Menurut laman Kementerian Agama (Kemenag), tanggal satu Suro sering dianggap sama dengan tanggal satu Muharram.

Malam satu Suro merupakan malam tahun baru dalam Kalender Jawa. Berdasarkan Kalender Jawa Indonesia 2024, tanggal 1 Suro jatuh pada hari Senin Legi, 8 Juli 2024. Ini berarti malam 1 Suro terjadi pada Minggu, 7 Juli 2024, setelah matahari terbenam. 

Namun, menurut kalender Hijriah Indonesia 2024 yang disusun oleh Kemenag RI, 1 Muharram jatuh pada 7 Juli 2024. Oleh karena itu, malam 1 Muharram 1446 H jatuh pada 6 Juli 2024. Ini menunjukkan bahwa tanggal malam satu Suro berbeda dengan malam tanggal satu Muharram.

Dalam perayaannya, Tradisi Suro lekat dengan tradisi turun-temurun masyarakat suku Jawa yang masih berpegang pada tradisi para leluhur. Bulan Suro dianggap oleh masyarakat suku Jawa sebagai bulan sakral. 

Mereka menghindari hal-hal besar yang menyangkut kehidupan mereka dalam bulan tersebut. 

Di Jawa Barat, bulan Muharram juga dulu disebut bulan Kapit atau Apit karena terjepit di antara Lebaran Syawal dan Lebaran Haji. 

Sama dengan masyarakat suku Jawa di Timur, Tengah, dan sekitarnya, sempat muncul anggapan bahwa bulan ini adalah bulan yang tidak membawa keberuntungan.

Malam Satu Suro mulanya berasal dari perkenalan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. 

Pada tahun 931 Hijriah atau 1443 tahun Jawa, yaitu pada zaman pemerintahan Kerajaan Demak, Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah (Islam) dengan sistem kalender Jawa pada masa itu. 

Penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).

Pada 1633 Masehi atau 1555 tahun Jawa, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau tahun Baru Saka diberlakukan di bumi Mataram dan menetapkan 1 Suro sebagai tanda awal tahun baru Jawa.

Pada saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu, sedangkan Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah.

Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa. Hal tersebut bermaksud bahwa Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya. 

Selain untuk menggempur Belanda di Batavia, hal itu juga bertujuan untuk menyatukan Pulau Jawa. Maka dari itu, Sultan Agung tidak ingin rakyatnya terpecah belah karena perbedaan keyakinan agama.

Penyatuan kalender tersebut dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro yang bertepatan pula dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriah. 

Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Untuk itu, pada setiap hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.

Dengan demikian, tanggal 1 Muharram atau 1 Suro Jawa yang dimulai pada hari Jumat Legi juga turut dikeramatkan. 

Bahkan, dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul. 

Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan khidmat yang kemudian beberapa tokoh penting seperti pemerintah pun tergabung di dalamnya. Tradisi ini berangkat dari pemahaman masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang mengemban tanggung jawab untuk menyembah Sang Pencipta.

Tradisi Malam Satu Suro tentunya tidak terlepas dari mitos-mitos dan kepercayaan yang beredar di masyarakat. 

Namun, mitos dan kepercayaan yang muncul di masyarakat pun berbeda-beda di setiap daerah. Berbicara tentang pemaknaan tradisi ini, dijelaskan dalam artikel publikasi Tradisi Suroan dan Pengaruhnya Terhadap Keberagamaan Masyarakat Dusun Bantan, Torgamba, Kabupaten Labuhanbatu Selatan karya Rahmawati dkk yang terbit dalam Jurnal Pendidikan, Ilmu Sosial, dan Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 2 No 2 2022, kata ‘Suro’ berasal dari kata ‘Asyura’, yang artinya hari ke-10 Muharram.

Kata Asyura dalam pengucapan lidah orang Jawa berubah menjadi "Suro" yang membuat kata tersebut masuk dalam khazanah Islam-Jawa asli yang kemudian diartikan sebagai nama bulan pertama dalam kalender Jawa. 

Menurut aliran kepercayaan Islam-Jawa, kata ‘Suro’ memiliki makna penting, yakni 10 hari pertama bulan Suro merupakan waktu yang paling keramat. 

Tanggal 10 Muharram memiliki arti yang sangat penting menurut masyarakat Jawa yang menganut agama Islam. Muharram termasuk bulan haram bersama Dzulkaidah, Dzulhijjah, dan Rajab. 

Ulama Al-Qodhi Abu'la mengatakan bulan ini disebut haram karena dua alasan utama. Pertama, pada bulan-bulan tersebut, pembunuhan dilarang keras, bahkan masyarakat jahiliah pun mematuhinya.

Prof KH Yahya Zainul Ma'arif atau akrab disapa Buya Yahya, pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon menjelaskan pandangan malam satu Suro dalam Kanal Youtube resmi Ponpes Al-Bahjah Cirebon, Al-Bahjah TV.

Dalam program Buya Yahya Menjawab, ia menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, kerap menganggap bulan Muharram atau Suro sebagai bulan keramat.

Pada momen tertentu itu, mereka menghentikan hal yang bersifat hajatan besar, perjalanan jauh, dan dianggap hari naas atau hari sial.

"Dalam Hadits Qudsi, Allah itu senang dengan yang berprasangka baik supaya dapat kebaikan. Hari Allah semuanya baik, hari jelek hanya ada satu, yakni saat anda bermaksiat. Menikah itu hari baik, syukuran. Nggak tahu kenapa, di Jabar juga ada Bulan Kapit, di Jatim ada Bulan Suro yang dianggap malapetaka, padahal kebalikannya, yakni bulan penuh rahmat," ucap Buya Yahya. 

"Dari 12 bulan Allah, empat di antaranya bulan haram salah satunya adalah Muharram, itu adalah bulan yang dimuliakan, bukan bulan petaka. Ndak ada itu, jangan dipercaya. Itu adalah suudzon pada Allah. Bulan Muharram itu justru istimewa, malah lakukan puasa. Sebaik-baik puasa setelah Bulan Ramadhan adalah di Muharram. Dulu Nabi menyuruh para sahabat berpuasa, 10 Muharram hendaknya puasa. Sunnah berpuasa di 9 atau 11 Muharram untuk membedakan hari agung kaum Yahudi. Wallahu A'lam bishawab," lanjutnya.

Serupa dengan pendapat Ustad Muhammad Abduh Tuasikal, Pimpinan Ponpes Darush Sholihin dalam laman Rumaysho menyebut dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. 

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At Taubah: 36).

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya'ban." HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679.

 

Kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah mengatakan: "Dinamakan bulan haram karena dua makna. 

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. 

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya.