Acara ini merupakan bagian dari rangkaian riset strategis OJK Institute yang bertujuan merumuskan kebijakan berbasis bukti untuk memperkuat pertumbuhan sektor keuangan syariah yang inklusif, adaptif, dan berbasis masyarakat. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan regulator, akademisi, industri, serta asosiasi.
Direktur Kelompok Spesialis Riset OJK Institute, Setiawan Budi Utomo, menegaskan bahwa tantangan inklusi keuangan syariah bukan hanya persoalan akses layanan, namun juga menyangkut kepercayaan, literasi, dan relevansi produk.
“Finance adalah bagian dari sistem ekonomi, dan ia tumbuh sebagai turunan dari berbagai industri. Namun, sebagian masyarakat masih belum yakin bahwa akad syariah yang dijalankan sudah sesuai dan sekaligus memenuhi kebutuhan pasar. Ini membuka pertanyaan besar: apakah kita sudah mendesain produk yang benar-benar relevan dengan karakteristik masyarakat?” tanggapan dari salah satu panelis.
Riset ini dilengkapi dengan pendekatan metodologis Analytical Network Process (ANP) dan Structural Equation Modeling (SEM-PLS & SEM-MGA), yang memetakan pengaruh lintas faktor seperti regulasi, digitalisasi, pengetahuan, hingga struktur pasar.
Menurut Murniati Mukhlisin, Guru Besar Tazkia University dan Founder Sakinah Finance, “Teori yang menjadi dasar riset ini harus ditampilkan lebih jelas. Ini penting untuk menunjukkan ke mana arah penelitian ini dibawa, serta bagaimana hasilnya dapat diaplikasikan dalam konteks literasi dan inklusi keuangan masyarakat secara nyata. Teori Institutional Logic dapat membeberkan alasan pemerintah, industri, pasar, serta keluarga dalam memperkuat belief system supaya memilih bank syariah. Tambahan, Murniati memperjelas bahwa inklusi syariah yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena menggerakkan sektor riil, menurunkan risiko kredit, membuka lapangan pekerjaan, dan mengurangi masalah sosial seperti kriminalitas tinggi akibat pengangguran, angka perceraian.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) mencatat bahwa tingkat literasi keuangan syariah tahun 2024 mencapai 34,58%, namun inklusinya hanya 8,7%. Gap ini memperlihatkan bahwa pengetahuan tidak selalu berujung pada penggunaan, sehingga perlu strategi baru yang lebih kontekstual dan aplikatif.
Menariknya, inklusi keuangan syariah di wilayah perkotaan dan perdesaan relatif serupa, yang menunjukkan hambatannya bukan hanya pada faktor infrastruktur, melainkan pada aspek persepsi, kepercayaan, dan kemudahan akses.
Perhatian khusus juga diberikan pada segmen perempuan, yang sering mengalami hambatan dalam mengakses layanan keuangan.
“Apakah akses layanan harus lewat model shadow banking? Atau apakah jam operasional cabang perlu disesuaikan dengan jam sekolah anak? Ini pertanyaan kritis dalam mendesain layanan keuangan yang inklusif gender,” ujar salah satu peserta diskusi.
Luqyan Tamanni, selaku Head of BSI Institute, menyoroti gap antara pertumbuhan produk dan sumber dana:
“Penurunan DPK (Dana Pihak Ketiga) sebesar 10–20% dan lonjakan dana di sektor swasta dari 30% ke 60% menunjukkan bahwa isu utama bukan hanya di produk, tapi juga pada supply dana individu dan awareness masyarakat. Ini adalah sinyal tentang terbatasnya kepercayaan dan kenyamanan pada sistem perbankan syariah.”
Kelompok usia 18–50 tahun menjadi pengguna dominan layanan keuangan syariah, dengan korelasi kuat antara inklusi dan pendidikan serta pendapatan. Dalam konteks ini, pendapatan per kapita sekitar Rp 2,5 juta berperan besar dalam keputusan masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan layanan keuangan formal.
Perwakilan KNEKS juga mengusulkan agar preferensi terhadap institusi perbankan syariah turut dimasukkan dalam survei, karena pilihan masyarakat tidak hanya pada jenis produk, tetapi juga pada brand dan trust terhadap lembaga penyedia.
Melalui forum ini, OJK Institute menegaskan komitmennya untuk memperkuat ekosistem keuangan syariah yang inklusif, tidak hanya melalui regulasi dan inovasi, tapi juga melalui riset kolaboratif dan pemahaman yang mendalam terhadap masyarakat.
Sumber:
Humas Tazkia