Sebuah penelitian mendalam mengungkap fakta mengejutkan: aktivitas buzzer di Indonesia kini telah berkembang menjadi sebuah industri profesional.
Hal ini diungkapkan oleh Ward Berenschot, seorang antropolog politik dari University of Amsterdam, dalam sebuah acara yang digelar oleh FISIP Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang.
"Kami sudah sekitar lima tahun melakukan riset tentang fenomena kejahatan siber di Indonesia," kata Ward.
Riset Mendalam: Mewawancarai Langsung Para Buzzer
Untuk memahami fenomena ini, tim peneliti tidak hanya mengamati dari jauh. Mereka turun langsung dan mewawancarai orang-orang yang bekerja sebagai buzzer. Tujuannya adalah untuk mengerti bagaimana cara kerja mereka, siapa yang memberi perintah, dan dari mana sumber dana mereka berasal.
Hasilnya sangat jelas.
"Temuannya memang [buzzer] menjadi industri karena justru banyak elite politik dan elite bisnis yang mendanai 'pasukan siber' tersebut untuk memengaruhi opini publik di media sosial," jelas Ward.
Sederhananya, ada pihak-pihak berkepentingan yang sengaja membayar sekelompok orang untuk menyebarkan narasi tertentu, baik itu untuk kepentingan politik maupun bisnis.
Mengapa Indonesia Jadi Sorotan?
Wijayanto, Wakil Rektor IV Undip, menjelaskan mengapa penelitian ini sangat relevan untuk Indonesia. Ada dua alasan utama:
-
Pengguna Media Sosial Terbesar: Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna media sosial paling banyak di dunia. Ini menjadikannya "lahan subur" untuk penyebaran informasi.
-
Pemilihan Langsung: Adanya pemilihan umum (Pemilu) secara langsung membuat opini publik menjadi sangat penting untuk diperebutkan.
Kombinasi kedua faktor inilah yang membuat industri buzzer tumbuh subur di Tanah Air.
Apa Solusinya? Tiga Kunci Menghadapi Industri Buzzer
Penelitian ini tidak hanya memaparkan masalah, tetapi juga menawarkan beberapa solusi penting agar ruang digital kita lebih sehat. Ada tiga hal yang perlu didorong:
-
Masyarakat Harus Melek Digital: Kita semua perlu meningkatkan kemampuan untuk memilah informasi, mengenali berita bohong (hoax), dan tidak mudah terprovokasi oleh unggahan di media sosial.
-
Aturan yang Jelas dari Pemerintah: Ward Berenschot berharap pemerintah bisa membuat kebijakan untuk menghentikan praktik ini. Salah satu usulannya adalah transparansi. "Pemilik suatu akun media sosial harus jujur ketika unggahannya dibayar, harus transparan," tegasnya.
-
Etika Politik dan Transparansi Platform: Para elite politik diharapkan lebih beretika dan tidak menggunakan cara-cara kotor untuk memanipulasi publik. Selain itu, platform seperti Facebook, X (Twitter), atau TikTok juga didorong untuk lebih transparan mengenai akun-akun yang melakukan aktivitas bayaran.
"Kita harus membantu memastikan ruang publik bebas dari kabar bohong dan tidak mudah dimanipulasi," tutup Wijayanto.
Sebagai pengguna media sosial, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah menjadi lebih kritis terhadap informasi yang kita terima dan tidak ikut menyebarkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya.