Ternyata, hak milik atas tanah di Indonesia tidak bersifat absolut. Ada beberapa alasan kuat yang secara hukum membolehkan pemerintah untuk mengambil alih lahan. Bahkan, polemik ini pernah menjadi pembahasan hangat setelah pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang menyebut "semua tanah milik negara."
Mari kita bedah alasan-alasan di balik penggusuran yang seringkali membuat kita bertanya-tanya.
1. Pengorbanan untuk Kepentingan Umum
Ini adalah alasan paling sering terjadi. Negara punya wewenang untuk mengambil alih lahan milik siapa pun, termasuk yang bersertifikat, jika diperlukan untuk proyek pembangunan yang bermanfaat bagi banyak orang. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.
Bayangkan pembangunan jalan tol, stasiun MRT, atau bendungan. Proyek-proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, yang dalam kacamata hukum dianggap lebih penting dibanding kepentingan pribadi.
Namun, tidak sembarangan. Pemerintah wajib memberikan ganti rugi yang layak dan adil kepada pemilik lahan. Ganti rugi ini dihitung oleh tim penilai independen. Jika pemilik tidak setuju, mereka punya hak untuk mengajukan keberatan ke pengadilan.
2. Fungsi Sosial Tanah Mitos atau Fakta?
Konsep ini adalah inti dari polemik pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. Pernyataannya yang menyebut "semua tanah milik negara" dan ia akui sebagai candaan ("guyon"), sejatinya merujuk pada prinsip yang diatur dalam UUD 1945.
Sesuai Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Inilah yang menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan terkait tanah terlantar.
Jika sebuah tanah, meskipun bersertifikat, dibiarkan tidak produktif selama periode tertentu (terutama lahan berstatus Hak Guna Usaha/HGU dan Hak Guna Bangunan/HGB), pemerintah bisa menetapkannya sebagai tanah terlantar. Setelah melalui proses peringatan, tanah itu bisa diambil alih kembali oleh negara untuk dikelola lebih baik, misalnya untuk reforma agraria.
Nusron Wahid sendiri mengklarifikasi bahwa kebijakan ini tidak menyasar tanah milik pribadi seperti sawah atau pekarangan yang sudah bersertifikat dan dimanfaatkan. Kebijakan ini lebih ditujukan untuk menertibkan jutaan hektar lahan yang dikuasai korporasi namun dibiarkan kosong, sehingga bisa memberi manfaat bagi publik.
3. Melanggar Tata Ruang, Petaka di Depan Mata
Anda punya sertifikat dan IMB, tapi bangunan didirikan di lokasi yang peruntukannya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Misalnya, di atas jalur hijau, bantaran sungai, atau area yang sudah ditetapkan sebagai ruang terbuka publik.
Nah, di sinilah letak masalahnya. Meskipun surat-surat lengkap, bangunan Anda dianggap melanggar aturan tata ruang. Pemerintah punya wewenang untuk menertibkan atau menggusur bangunan tersebut demi mengembalikan fungsi lahan sesuai rencana yang sudah ditetapkan.
4. Sengketa Berujung Eksekusi Pengadilan
Terkadang, penggusuran bukan inisiatif pemerintah, melainkan hasil dari sengketa kepemilikan. Jika ada pihak lain yang mengklaim tanah Anda dan menang di pengadilan, pemerintah bisa diminta untuk membantu melakukan eksekusi pengosongan lahan.
Sertifikat tanah dan IMB memang memberikan perlindungan hukum yang kuat. Namun, hak tersebut tidak membuat kita kebal dari penggusuran jika ada alasan-alasan di atas. Kepentingan umum dan kepatuhan pada aturan tata ruang menjadi faktor penting yang bisa mengesampingkan hak pribadi.
Pemerintah punya kewenangan untuk mengambil keputusan demi kebaikan banyak orang, tapi tetap diatur oleh undang-undang untuk memastikan prosesnya adil dan memberikan ganti rugi yang sesuai.
Referensi: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250812122416-92-1261497/nusron-minta- maaf-sebut-semua-tanah-milik-negara-maksudnya-guyon
Fasilitas Universitas Tazkia ( Kampus Tazkia )
( Bangunan Universitas Tazkia )