Namun yang paling menarik dari laporan ini adalah satu tren utama: kebangkitan merek lokal yang kini mulai menyalip dominasi merek global.
Perubahan besar ini terjadi seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen Muslim untuk lebih memilih produk yang tidak hanya halal secara teknis, tapi juga etis, berkelanjutan, dan sejalan dengan nilai-nilai keislaman serta solidaritas kemanusiaan. Gejolak geopolitik—khususnya konflik di Gaza—mendorong gerakan boikot global terhadap banyak merek besar Barat yang dianggap abai terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam gelombang inilah, merek-merek lokal dan regional naik ke panggung utama.
Contohnya sangat nyata: ZUS Coffee dari Malaysia, Wardah dari Indonesia, hingga produk-produk lokal dari Turki, Pakistan, dan Yordania kini mendapat tempat khusus di hati konsumen. Bahkan muncul istilah “patriotic consumption”—belanja sebagai bentuk pembelaan terhadap nilai, tanah air, dan umat. Konsumen kini tidak hanya peduli apa yang mereka beli, tapi juga siapa yang mereka dukung dengan uang mereka.
Aplikasi seperti Boycat dan No Thanks menjadi alat bantu dalam menyaring produk yang dianggap sejalan dengan nilai Muslim. Media sosial pun penuh dengan gerakan silent majority yang mendorong penggunaan produk lokal dan halal. Data SGIE menunjukkan bahwa 15,6% dari unggahan media sosial global dalam periode Oktober 2023–Maret 2024 secara eksplisit mendukung pengalihan ke merek-merek lokal dan etis.
Pergeseran ini tidak terjadi di ruang hampa. Populasi Muslim global diperkirakan akan mencapai 2,2 miliar pada 2030, dengan lebih dari 540 juta pemuda Muslim yang menjadi motor utama tren konsumsi ini. Di tengah arus besar globalisasi, justru kekuatan lokal yang kini mendapatkan momentum.
Dalam konteks geopolitik, aliansi negara-negara BRICS dan OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) memainkan peran penting dalam mendukung ekosistem halal regional. Negara-negara seperti Arab Saudi, UEA, Turki, dan Indonesia bukan hanya memperkuat perdagangan halal di antara sesama anggota OKI, tapi juga mendorong produksi dalam negeri, sertifikasi halal digital, serta investasi dalam infrastruktur dan teknologi halal.
Contohnya, Indonesia kini menjadi pusat modest fashion, menggeser dominasi negara lain. Malaysia tetap memimpin di sektor makanan halal dan keuangan syariah. Sementara UEA dan Arab Saudi agresif berinvestasi di sektor hiburan dan wisata halal. Negara-negara ini memperlihatkan bahwa merek global tidak lagi tak tergantikan. Merek lokal bisa unggul—dengan kualitas, teknologi, dan nilai yang kuat.
Meski terjadi sedikit penurunan impor produk halal oleh negara OKI pada 2023, proyeksi jangka panjang menunjukkan pemulihan dan pertumbuhan pesat. Pasar halal global diperkirakan akan mencapai USD 3,36 triliun pada 2028, didorong oleh pertumbuhan konsumsi, perbaikan regulasi, dan penguatan rantai pasok lokal.
Di sektor makanan halal saja, nilai belanja umat Muslim mencapai USD 1,43 triliun, dan akan naik menjadi hampir USD 2 triliun pada 2028. Hal ini diperkuat oleh investasi besar dari pemain lokal dan global—seperti ekspansi JBS di Saudi Arabia dan konsolidasi merek halal Eropa.
Sementara itu, sektor digital dan teknologi memainkan peran penting dalam memperkuat daya saing merek lokal. Di bidang keuangan, perusahaan fintech halal seperti Tamara dari Saudi Arabia telah mencapai valuasi unicorn. Aplikasi super untuk sertifikasi halal juga dikembangkan di Indonesia dan UEA.
Sektor-sektor lain seperti media, rekreasi, farmasi halal, dan halal cosmetics juga terus berkembang. Produk kecantikan halal seperti Iba Cosmetics (India) dan Joseph Shining (Turki) kini punya konsumen setia di seluruh dunia, bukan hanya dari kalangan Muslim, tapi juga dari konsumen non-Muslim yang peduli etika dan keberlanjutan.
Kebangkitan merek lokal dalam industri halal bukan sekadar tren—ini adalah transformasi mendalam dalam pola konsumsi, geopolitik ekonomi, dan identitas budaya umat Muslim global. Saat konsumen Muslim di seluruh dunia mulai beralih dari merek global ke alternatif lokal yang lebih etis dan selaras nilai, kita menyaksikan munculnya “local champions” yang siap memimpin pasar global.
When local brands overtake global giants, it’s not just business—it’s a movement.