Namun, penerapan kebijakan ini menuai keberatan dari sejumlah negara mitra dagang, terutama Amerika Serikat, yang merasa bahwa regulasi tersebut berpotensi menjadi hambatan teknis dalam perdagangan internasional. Dalam laporan National Trade Estimate Report 2025 yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR), AS secara eksplisit mengkritik Indonesia karena dianggap tidak memberikan akses yang adil bagi produk asing untuk masuk ke pasar Indonesia. Tak hanya berhenti pada laporan, AS juga secara resmi mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menilai bahwa proses sertifikasi halal yang diberlakukan Indonesia bersifat diskriminatif, tidak transparan, dan belum memenuhi prinsip-prinsip perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT) yang disepakati oleh anggota WTO.
Indonesia, melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, mewajibkan seluruh produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, hingga barang gunaan yang beredar di pasar domestik untuk memiliki sertifikat halal yang diterbitkan atau diakui oleh negara melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Kewajiban ini berlaku baik untuk produk lokal maupun produk impor. Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini lahir dari kebutuhan untuk memberikan perlindungan hukum, kepastian, dan ketenangan batin bagi konsumen Muslim, yang menurut data Badan Pusat Statistik (2022), jumlahnya mencapai 87 persen dari total populasi Indonesia. Sertifikasi halal dianggap sebagai langkah proaktif dalam membangun ekosistem industri halal nasional yang kuat dan terpercaya, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai calon pusat halal dunia.
Namun, dari sudut pandang negara-negara mitra dagang seperti Amerika Serikat, kebijakan ini menimbulkan sejumlah persoalan. Prosedur sertifikasi halal yang dianggap kompleks, disertai kewajiban akreditasi ulang lembaga halal asing dan tidak adanya pengakuan otomatis terhadap sertifikat halal internasional, dipandang sebagai bentuk hambatan teknis perdagangan. Mereka menilai bahwa kebijakan tersebut menambah beban biaya dan waktu bagi eksportir, serta menciptakan ketidakpastian hukum. Lebih jauh, AS menilai bahwa penerapan kewajiban ini berpotensi melanggar prinsip non-diskriminasi dan perlakuan nasional yang menjadi fondasi perdagangan bebas di bawah naungan World Trade Organization (WTO). Oleh karena itu, gugatan yang diajukan bukan semata soal kehalalan, tetapi menyangkut kepatuhan terhadap tata kelola perdagangan internasional yang adil dan terbuka.
Pemerintah AS mengajukan tiga keberatan utama: proses akreditasi lembaga halal asing dinilai tidak transparan, sertifikasi ulang atas produk yang sudah disertifikasi di negara asal dianggap berlebihan, dan tidak adanya pemberitahuan terbuka ke WTO melanggar prinsip Technical Barriers to Trade (TBT). Singkatnya, mereka merasa bahwa Indonesia menggunakan standar halal sebagai bentuk hambatan terselubung bagi perdagangan.
Di tengah gugatan tersebut, Indonesia dihadapkan pada sorotan global dan tekanan diplomatik yang tidak ringan. Namun, bagi Indonesia, sertifikasi halal bukan sekadar persoalan teknis perdagangan, melainkan refleksi dari kedaulatan negara dalam menjaga nilai-nilai syariah dan melindungi hak konsumen Muslim. Komitmen ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak ingin tunduk pada tekanan global yang bisa mengaburkan prinsip-prinsip dasar kehalalan yang bersumber dari nilai agama.
Memang benar bahwa menjadi pusat industri halal dunia tidak cukup hanya dengan memiliki populasi Muslim terbesar. Namun demikian, standar halal yang ditetapkan Indonesia harus dilihat sebagai aset strategis, bukan hambatan. Justru di era globalisasi inilah, Indonesia berkesempatan menawarkan sistem jaminan halal yang kuat, transparan, dan berbasis syariah kepada dunia internasional. Jika Indonesia mampu mempertahankan kebijakan ini dengan prinsip yang teguh, maka negara-negara Muslim lainnya bisa menjadikannya model referensi dalam membangun sistem jaminan halal mereka sendiri tanpa harus mengorbankan prinsip hanya demi kenyamanan pasar global.
Kini, Indonesia tidak sedang berada di persimpangan untuk memilih antara bertahan atau menyerah, melainkan sedang mempertegas posisinya: bahwa perlindungan konsumen Muslim dan pemenuhan prinsip syariah adalah prioritas yang tidak bisa dinegosiasikan. Globalisasi tidak selalu berarti menyeragamkan standar, tetapi juga memberi ruang bagi negara untuk menunjukkan karakter dan identitas hukumnya. Dalam konteks ini, Indonesia bisa menjadi pelopor dan penentu arah baru dalam tata kelola halal global—asal tetap konsisten, terbuka dalam proses, dan kokoh dalam prinsip.