Sharia Restricted Invesment Account (SRIA)
Di akhir tahun 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkenalkan produk inovatif untuk perbankan syariah, yaitu Sharia Restricted Investment Account (SRIA). Produk ini dirancang sebagai game changer yang mampu mendobrak produk tradisional yang selama ini digunakan oleh bank syariah, seperti giro, tabungan, dan deposito. Tujuan utama dari SRIA adalah menawarkan inovasi yang lebih fleksibel dan sesuai syariah, yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan pengusaha syariah masa kini.
Namun, implementasi produk ini belum massal di bank syariah karena kurangnya insentif dari sisi regulasi sehingga bank-bank syariah cenderung lebih fokus pada produk yang memberi keuntungan jangka pendek. Hal ini menyebabkan mereka berinovasi dengan produk lain yang secara pragmatis lebih menguntungkan secara bisnis. Meski demikian, secara historis dan pragmatis, produk ini sebenarnya sudah lazim di dunia keuangan syariah, khususnya di perangkat keuangan peer to peer financing (P2P) syariah maupun koperasi syariah.
Fitur utama SRIA adalah mempertemukan surplus unit dengan deficit unit secara langsung, melalui konsep disintermediasi. Dalam sistem ini, surplus unit memiliki hak penuh untuk memilih siapa yang akan diberi dana pembiayaan, sesuai POJK 10 Tahun 2022 yang menegaskan bahwa platform P2P syariah menjadi perantara utama. Sementara, bagi koperasi syariah, mereka dapat mengadopsi model yang sama, mempertemukan anggota yang mempunyai dana surplus dengan anggota yang membutuhkan dana, dalam satu ekosistem koperasi.
Selain itu, fitur kedua yang krusial adalah pengelolaan dana secara langsung dan transparan. Ketika dana dari surplus unit masuk ke platform, langsung disalurkan ke deficit unit tanpa melalui pemotongan untuk giro wajib minimum di bank. Di P2P dan koperasi syariah, dana ini tidak dapat ditarik sebelum proyek selesai sehingga terjadi kesesuaian jangka waktu antara pendanaan dan pembiayaan, yang menjadi salah satu keunggulan besar.
Fitur ketiga adalah proses pengambilan keputusan pembiayaan yang sangat bergantung pada analisis dan pilihan investor, baik melalui platform maupun koperasi. Para investor akan melakukan analisis atas profile usaha dan pengajuan dari pemilik proyek. Jika disetujui, dana akan disalurkan. Dalam sistem koperasi, proses ini dilakukan melalui sistem internal, baik secara langsung maupun lewat komunikasi via WhatsApp atau Telegram.
Sedangkan fitur keempat, berbeda dengan bank, produk SRIA tidak didukung oleh penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS); segala risiko ditanggung oleh investor, yang menyertakan jaminan dari pemilik proyek. Untuk memitigasi risiko kredit, biasanya disertai jaminan yang didaftarkan secara resmi oleh notaris sesuai akad yang berlaku.
Fitur terakhir, dari sisi keuntungan, lembaga biasanya mendapatkan fee dari jasa analisis dan pengelolaan dana. Praktik ini sudah lazim di P2P financing dan koperasi syariah sebagai sumber pendapatan utama.
Pertanyaannya, akankah SRIA ini bisa tetap sustain di P2P syariah dan koperasi syariah? Mengingat risiko yang ditanggung investor cukup tinggi, kedepannya lembaga ini harus mampu bertransformasi dan menjadi lebih inovatif, misalnya sebagai inkubator bisnis dan pengembang usaha UMKM. Langkah strategis ke depan adalah membangun lembaga inkubasi yang mampu meningkatkan kualitas pengusaha sehingga program ini dapat mendukung kesejahteraan sosial berkeadilan.