Teknologi keuangan, juga disebut fintech, berasal dari kata "keuangan" dan  "teknologi". Fintech adalah istilah untuk teknologi digital yang digunakan untuk  menyediakan layanan keuangan yang lebih cepat, mudah, dan terjangkau. Dalam sepuluh  tahun terakhir, fintech di Indonesia telah berkembang pesat, terutama dalam bentuk peer-to peer lending (P2P), pembayaran melalui ponsel, crowdfunding, dan robo advisor, antara lain.  Namun, pertumbuhan fintech juga mulai memasuki sistem keuangan konvensional dan  berbasis syariah. Inovasi keuangan berbasis teknologi yang menggunakan hukum Islam  (syariah) disebut fintech syariah. Tidak ada unsur riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), dan  maysir (spekulasi) dalam transaksi fintech syariah.

Fintech ini menggunakan akad muamalah  seperti murabahah (jual beli), mudharabah (bagi hasil), dan wakalah (perwakilan). Fintech syariah memiliki manfaat ideologis dan sosial selain menjadi alternatif dari  fintech konvensional. Solusi keuangan yang etis, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam  adalah tujuan utamanya. Ini juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengintegrasikan  pasar keuangan nasional dan mengembangkan ekonomi syariah.

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan fintech syariah karena  merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Kebijakan dan regulasi yang  dibuat oleh pemerintah, seperti Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS),  dan dukungan dari otoritas keuangan, seperti OJK dan Bank Indonesia, mendukung sektor  ini. Namun, fintech syariah memiliki banyak potensi yang perlu diantisipasi dan  dimanfaatkan secara strategis.

1. Peluang Fintech Syariah di Indonesia 

a. Populasi Muslim Terbesar: 

Indonesia, dengan lebih dari 230 juta penduduk Muslim, adalah pasar yang potensial  untuk layanan keuangan syariah. Selain itu, milenial Muslim dan bisnis kecil dan  menengah berbasis syariah semakin menyadari pentingnya transaksi halal dan etis.  b. Akses Teknologi dan Digitalisasi:  

Masyarakat dapat mendapatkan layanan keuangan berbasis aplikasi karena tingkat  penggunaan smartphone dan internet yang tinggi, bahkan di daerah pedesaan. Fintech  syariah dapat menjangkau populasi yang sebelumnya sulit dijangkau oleh bank  konvensional. 

c. Dukungan Pemerintah dan Regulasi: 

OJK dan BI telah membuat sandbox regulasi untuk fintech, termasuk fintech syariah.  DSN-MUI dan organisasi lainnya mengeluarkan fatwa untuk mengatur operasi, seperti  fatwa tentang pembiayaan P2P syariah. 

d. Kebutuhan Inklusi dan Keuangan: 

Fintech Syariah dapat membantu mengatasi keterbatasan layanan keuangan formal di  wilayah terpencil. Dengan menawarkan produk yang sederhana dan mudah diakses,  fintech syariah mampu meningkatkan inklusi keuangan dan pemerataan ekonomi. e. Perluasan Ekosistem Perusahaan Fintech Syariah:  

Kemunculan perusahaan fintech syariah seperti Ammana, Dana Syariah, dan Ethis  Indonesia telah meningkatkan pilihan masyarakat untuk layanan keuangan berbasis  syariah. Mereka menggunakan akad syariah sesuai fatwa seperti murabahah dan  musyarakah untuk produk mereka.

2. Tantangan dalam Pengembangan Fintech Syariah 

a. Rendahnya Literasi Keuangan Syariah:  

Banyak orang tidak mengenal akad syariah dan tidak tahu apa yang membedakan  fintech syariah dari yang konvensional, yang menyebabkan banyak orang menolak  fintech syariah.  

b. Keterbatasan Sumber Daya Manusia yang Paham Teknologi dan Syariah:  Industri fintech syariah membutuhkan sumber daya manusia yang memahami prinsip  dan hukum Islam serta mahir dalam teknologi. Kekurangan sumber daya manusia ini  berdampak pada kualitas produk dan kepatuhan syariah.  

c. Kepercayaan Masyarakat dan Validitas Syariah:  

Beberapa orang mempertanyakan validitas "label syariah" layanan fintech tertentu,  terutama jika perjanjian tidak dijelaskan secara transparan. Mereka khawatir  kepercayaan masyarakat akan berkurang jika tidak ada pengawasan.  

d. Regulasi yang Terfragmentasi:  

Meskipun beberapa regulasi telah dibuat oleh OJK, BI, dan DSN-MUI, tidak ada  standar nasional yang komprehensif tentang sistem audit syariah, perlindungan data,  dan integrasi digital berbasis hukum Islam. 

3. Strategi Pengembangan Fintech Syariah 

a. Pendidikan dan Literasi Digital Syariah:  

Kampanye edukasi keuangan syariah yang berbasis digital harus dilakukan oleh  pemerintah dan perusahaan. Kampanye ini dapat dilakukan melalui seminar,  kolaborasi dengan kampus, dan media sosial.  

b. Penguatan Ekosistem dan Kolaborasi:  

Fintech syariah, perbankan syariah, koperasi, BMT, dan lembaga zakat dan wakaf  harus bekerja sama lintas sektor untuk menciptakan ekosistem digital syariah yang  saling mendukung.  

c. Inovasi Teknologi dan Produk:  

Perusahaan fintech harus menawarkan layanan yang sesuai syariah dan kompetitif  yang mudah digunakan, cepat dalam melakukan transaksi, dan aman untuk sistem.  Integrasi QRIS syariah, penilaian kelayakan AI, atau blockchain untuk transparansi  transaksi adalah beberapa contoh layanan.  

d. Peraturan Terintegrasi:  

Standar legalitas untuk sertifikasi syariah berbasis teknologi harus dikembangkan, dan  OJK, BI, dan DSN-MUI harus membuat kerangka peraturan yang mencakup prinsip  syariah dan elemen teknologi informasi. 

Kesimpulan:  

Transformasi digital sektor keuangan di Indonesia dibantu oleh industri fintech  syariah yang mengikuti nilai-nilai Islam. Ini memiliki potensi pasar yang sangat besar karena  populasi Muslim yang besar dan penetrasi digital yang tinggi. Namun, fintech syariah harus  mengatasi regulasi, kepercayaan publik, sumber daya manusia, dan literasi jika ingin berkembang.

Pengembangan fintech syariah akan sangat bergantung pada inovasi berbasis Islam,  kerja sama lintas sektor, dan perlindungan konsumen. Dengan menggunakan pendekatan  strategis dan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan, fintech syariah dapat  menjadi motor penggerak ekonomi halal digital dan turut membangun keadilan ekonomi  yang lebih merata di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA 

Hiyanti, H., Nugroho, L., Sukmadilaga, C., & Fitrijanti, T. (2019). Peluang dan tantangan  fintech (financial technology) syariah di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 5(3), 326- 333. / http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jei/article/view/578 

Abidah, A., Saiban, K., & Munir, M. (2022). Peran Al-Quran Dan As-Sunnah Dalam  Perkembangan Ekonomi Syariah: Kajian, Peluang Dan Tantangan Fintech Syariah. Muslim  Heritage, 7(1), 01-27. /  https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/muslimheritage/article/view/3628 

Nurhayati, S., & Fadhillah, M. H. (2022). Menakar peluang dan tantangan penyelesaian  sengketa bisnis fintech syariah melalui LAPS. Jurnal Tabarru': Islamic Banking and  Finance, 5(1), 63-70. / https://journal.uir.ac.id/index.php/tabarru/article/view/8857 

Subagiyo, R. (2019). Era Fintech: Peluang Dan Tantangan Bagi Ekonomi Syariah. El-Jizya:  Jurnal Ekonomi Islam, 7(2), 316-336. /  https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/eljizya/article/view/3457 

Efendi, P. S., & Wulandari, D. (2022). Peluang dan tantangan fintech syariah dalam  mendorong perekonomian UMKM Masyarakat Kediri. COMSERVA: Jurnal Penelitian Dan  Pengabdian Masyarakat, 2(5), 373-382. /  https://pdfs.semanticscholar.org/a10b/c955702defaef86628b32c34fba5aaa78613.pdf 

Qalbia, F., & Saputra, M. R. (2024). Transformasi digital dan kewirausahaan syariah di era  modernitas: Peluang dan tantangan dalam ekonomi syariah di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Bisnis Ekonomi, 2(2), 389-406./  https://jurnal.itbsemarang.ac.id/index.php/JMBE/article/download/2665/3084 

Perwira, A. Y. (2018). Eksistensi fintech syariah di Indonesia. Jurnal Hukum Ekonomi  Islam, 2(1), 32-43./ https://jhei.appheisi.or.id/index.php/jhei/article/download/57/37