1. LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang sangat besar, dengan estimasi mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Berdasarkan data dari BAZNAS, potensi zakat nasional pada tahun terkini mencapai sekitar Rp 327 triliun, angka yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan APBN Indonesia. Namun realisasi pengumpulan zakat masih sangat rendah, yaitu hanya sekitar 4-5% dari potensi tersebut atau sekitar Rp 12-16 triliun per tahun. Kesenjangan yang sangat besar antara potensi dan realisasi pengumpulan zakat ini menunjukkan adanya permasalahan fundamental dalam sistem pengelolaan zakat di Indonesia yang perlu diatasi dengan berbagai pendekatan strategis.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengoptimalkan pengumpulan zakat adalah melalui kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak yang telah diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Kebijakan ini pada dasarnya merupakan insentif fiskal bagi wajib pajak muslim untuk menunaikan kewajiban zakat dan pajaknya secara bersamaan tanpa merasa terbebani secara ganda. Dalam implementasinya, zakat yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada BAZNAS atau LAZ yang resmi diakui pemerintah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Namun demikian, kebijakan yang seharusnya menjadi solusi terhadap potensi beban ganda (double burden) ini belum berjalan optimal meskipun telah diberlakukan sejak belasan tahun yang lalu.
Berdasarkan penelitian Priyono et al. (2022) di BAZNAS Kota Yogyakarta, implementasi zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak masih menghadapi berbagai kendala, terutama terkait dengan pemahaman wajib pajak muslim yang masih rendah. Banyak wajib pajak muslim yang belum mengetahui adanya fasilitas ini sehingga tidak memanfaatkannya dalam pelaporan pajak tahunan mereka. Prosedur administratif yang dipersepsikan rumit juga menjadi faktor penghambat optimalisasi kebijakan ini, di mana wajib pajak harus melampirkan bukti setor zakat dari lembaga resmi pada saat pelaporan SPT Tahunan. Selain itu, sosialisasi dari otoritas perpajakan dan lembaga pengelola zakat yang belum masif dan terkoordinasi dengan baik turut berkontribusi terhadap rendahnya tingkat pemanfaatan kebijakan ini.
Direktorat Jenderal Pajak (2022) melalui laman resminya menegaskan bahwa zakat dapat menjadi pengurang perhitungan pajak, namun implementasinya masih belum optimal di kalangan wajib pajak muslim. Data menunjukkan bahwa dari sekitar 40 juta wajib pajak terdaftar di Indonesia, hanya sebagian kecil yang memanfaatkan fasilitas pengurangan zakat dalam penghitungan pajak penghasilan mereka. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan serius terkait kesadaran, pemahaman, dan kepatuhan wajib pajak muslim terhadap kebijakan ini. Implementasi kebijakan yang tidak optimal ini juga berimplikasi pada potensi penerimaan zakat yang tidak tergarap maksimal serta beban ganda yang tetap dirasakan oleh wajib pajak muslim yang menjalankan kedua kewajiban finansial tersebut.
Studi terbaru oleh Ismawati et al. (2022) di Kabupaten Bulukumba menunjukkan bahwa implementasi zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak masih menghadapi tantangan administratif dan sosialisasi yang kompleks. Penelitian tersebut mengungkap bahwa banyak wajib pajak muslim yang masih enggan memanfaatkan fasilitas ini karena prosedur yang dianggap rumit, mulai dari keharusan membayar zakat melalui lembaga resmi, mendapatkan bukti setor yang sah, hingga melampirkannya dalam laporan pajak tahunan. Persepsi tentang jumlah pengurangan yang relatif kecil juga menjadi faktor yang mengurangi minat wajib pajak untuk memanfaatkan kebijakan ini, di mana zakat hanya menjadi pengurang penghasilan kena pajak dan bukan pengurang langsung pajak terutang (tax credit) seperti yang berlaku di beberapa negara lain. Kondisi ini diperparah dengan minimnya edukasi komprehensif tentang manfaat dan prosedur pemanfaatan kebijakan ini.
Dari perspektif fikih Islam, kebijakan zakat sebagai pengurang pajak juga masih menjadi perdebatan di kalangan ulama dan akademisi. Kementerian Agama Republik Indonesia (2024) baru-baru ini melakukan kajian fikih zakat sebagai pengurang pajak yang menunjukkan adanya dinamika pemahaman dari perspektif hukum Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang berbeda dan tidak dapat saling menggantikan, sementara sebagian lainnya memandang bahwa prinsip menghindari beban ganda sesuai dengan maqashid syariah (tujuan syariah). Perbedaan pandangan ini juga berpengaruh terhadap perilaku wajib pajak muslim dalam memanfaatkan fasilitas pengurangan zakat dalam penghitungan pajak mereka. Banyak wajib pajak muslim yang masih ragu apakah memanfaatkan kebijakan ini telah sesuai dengan tuntunan syariah atau justru mengurangi esensi dari ibadah zakat itu sendiri.
Penelitian Muhammad dan Nor (2024) mengungkapkan bahwa intensi wajib pajak muslim untuk memanfaatkan zakat sebagai pengurang kewajiban pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis dan sosial yang kompleks. Faktor pemahaman agama, kesadaran hukum, persepsi keadilan, faktor lingkungan sosial, dan tingkat kepercayaan terhadap institusi pengelola zakat dan pajak menjadi determinan penting dalam pembentukan intensi tersebut. Wajib pajak yang memiliki pemahaman agama yang baik dan kesadaran hukum yang tinggi cenderung lebih proaktif dalam memanfaatkan kebijakan ini. Sebaliknya, wajib pajak dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap institusi pengelola zakat dan pajak cenderung enggan memanfaatkan kebijakan ini meskipun secara ekonomis dapat mengurangi beban finansial mereka. Kompleksitas faktor-faktor ini memerlukan pendekatan holistik dalam mengoptimalkan implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang pajak.
Dalam konteks perbandingan internasional, Famulia (2020) menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam hal integrasi zakat dan pajak dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk muslim lainnya seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Di Malaysia, zakat tidak hanya menjadi pengurang penghasilan kena pajak tetapi menjadi kredit pajak (tax credit) yang secara langsung mengurangi pajak terutang, sehingga insentif yang diberikan jauh lebih besar dibandingkan di Indonesia. Sementara di Brunei Darussalam, integrasi zakat dan pajak bahkan lebih komprehensif dengan sistem administrasi yang sangat terkoordinasi. Model-model integrasi zakat dan pajak di negara tetangga ini dapat menjadi pembelajaran berharga bagi Indonesia dalam mengoptimalkan implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang pajak, dengan tetap mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang mungkin berbeda.
Berdasarkan kompleksitas permasalahan di atas, penelitian ini akan fokus pada analisis mendalam terhadap implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak di Indonesia. Penelitian ini tidak hanya akan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan kebijakan tersebut dari perspektif wajib pajak muslim, tetapi juga akan mengeksplorasi pandangan dan pengalaman berbagai stakeholder terkait seperti otoritas perpajakan, lembaga pengelola zakat, ulama, dan akademisi. Penelitian ini juga akan merumuskan strategi komprehensif untuk mengoptimalkan implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang pajak, sehingga dapat berkontribusi pada peningkatan pengumpulan zakat dan kepatuhan pajak secara simultan. Temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi berharga bagi pemangku kebijakan dalam menyempurnakan regulasi dan meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang pajak di Indonesia.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian sebagai berikut:
- Bagaimana implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak di Indonesia?
- Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemanfaatan kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak?
- Bagaimana strategi optimalisasi implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
- Menganalisis implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak di Indonesia.
- Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
- Merumuskan strategi optimalisasi implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
2. KAJIAN PUSTAKA
Konsep Zakat dalam Islam
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat tertentu, seperti telah mencapai nisab (batas minimal harta yang wajib dizakati) dan telah memenuhi waktu tertentu. Secara bahasa, zakat berasal dari kata "zaka" yang berarti tumbuh, berkembang, atau bersih. Dalam pengertian syar'i, zakat merupakan kewajiban memberikan sebagian harta untuk disalurkan kepada mustahik (penerima zakat), dengan tujuan untuk membersihkan harta dan menyejahterakan umat Islam, terutama mereka yang kurang mampu.
Zakat memiliki dua bentuk utama: zakat mal (harta) dan zakat fitrah (sebagai bentuk kewajiban pada akhir bulan Ramadan). Zakat mal mencakup berbagai jenis harta, seperti uang, hasil pertanian, ternak, dan perdagangan. Zakat fitrah, di sisi lain, wajib diberikan dalam bentuk makanan pokok, seperti beras, yang diukur berdasarkan jumlah individu dalam keluarga, dengan ketentuan yang berlaku pada setiap tahun.
Zakat memiliki beberapa tujuan utama, antara lain membersihkan harta seseorang, sebagai bentuk solidaritas sosial, serta untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan. Dengan begitu, zakat bukan hanya sekadar kewajiban agama, tetapi juga alat untuk menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat. Penerima zakat (mustahik) terdiri dari delapan golongan yang dijelaskan dalam Surah At-Taubah ayat 60, antara lain fakir, miskin, amil (pengelola zakat), dan lainnya.
Konsep Pajak dalam Sistem Perpajakan Indonesia
Pajak adalah kontribusi wajib yang dibayar oleh individu atau badan kepada negara tanpa adanya imbalan langsung yang dapat dihitung. Pajak digunakan oleh pemerintah untuk membiayai berbagai kegiatan publik, termasuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dalam sistem perpajakan Indonesia, jenis pajak yang utama antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh individu atau badan usaha dalam periode tertentu, biasanya satu tahun fiskal. Tarif PPh di Indonesia bersifat progresif, artinya semakin besar penghasilan yang diterima, semakin tinggi tarif pajak yang dikenakan. Selain itu, Indonesia juga memberlakukan pajak untuk badan usaha yang memiliki keuntungan, dengan tarif yang berbeda sesuai dengan skala dan jenis usaha yang dijalankan.
Pajak bersifat wajib, artinya tidak ada pilihan bagi wajib pajak untuk menolak atau mengurangi kewajiban pajak mereka. Negara memiliki kewenangan untuk memungut pajak dari warganya untuk memastikan keberlanjutan pemerintahan dan pembiayaan kegiatan negara. Dalam sistem perpajakan Indonesia, pajak dianggap sebagai instrumen utama dalam menjaga stabilitas ekonomi dan membiayai pembangunan nasional.
Hubungan Zakat dan Pajak
Meskipun zakat dan pajak sama-sama kewajiban yang harus dipenuhi oleh warga negara, keduanya memiliki perbedaan mendasar yang signifikan. Secara umum, baik zakat maupun pajak mengharuskan individu untuk menyisihkan sebagian dari harta mereka untuk tujuan tertentu, namun tujuan dan dasar hukum yang mengaturnya sangat berbeda.
- Dasar Hukum: Zakat diatur oleh hukum Islam, sedangkan pajak diatur oleh hukum negara. Zakat bersifat ibadah yang memiliki konsekuensi moral dan agama, sedangkan pajak bersifat kewajiban hukum yang tidak terikat dengan ajaran agama tertentu.
- Objek: Zakat dikenakan atas harta yang telah mencapai nisab, yang berarti hanya sebagian kecil dari harta tertentu yang harus dizakati, seperti uang, hasil pertanian, dan perdagangan. Pajak, di sisi lain, dikenakan atas semua penghasilan atau transaksi yang dilakukan oleh individu atau badan usaha.
- Tarif: Zakat memiliki tarif tetap yang sudah diatur dalam syariat, yakni 2,5% untuk harta yang memenuhi syarat nisab, sedangkan pajak memiliki tarif yang bervariasi, terutama untuk Pajak Penghasilan yang menggunakan sistem progresif.
- Peruntukan: Zakat disalurkan langsung kepada mustahik, yakni golongan yang membutuhkan, dan tidak untuk keperluan umum atau pembangunan negara. Sedangkan pajak digunakan untuk pembiayaan kegiatan negara, termasuk proyek infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Secara keseluruhan, meskipun zakat dan pajak memiliki tujuan yang hampir serupa dalam hal redistribusi kekayaan, keduanya berfungsi dalam sistem yang sangat berbeda. Zakat lebih kepada kewajiban agama yang langsung mengarah pada pemenuhan kebutuhan sosial, sedangkan pajak lebih kepada kewajiban kewarganegaraan yang bersifat lebih luas dan diatur oleh negara.
Kebijakan Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Di Indonesia, zakat dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, seperti yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Kebijakan ini memberikan insentif fiskal bagi wajib pajak Muslim dengan cara mengurangi penghasilan yang menjadi objek pajak setelah zakat dibayarkan.
Menurut UU PPh, zakat yang dibayar oleh wajib pajak yang beragama Islam dapat dikurangkan dari penghasilan bruto mereka, sehingga mengurangi jumlah penghasilan yang dikenakan pajak. Hal ini memberikan dua keuntungan: pertama, membantu meringankan beban pajak bagi individu Muslim, dan kedua, mendorong partisipasi aktif dalam menunaikan kewajiban zakat. Dengan kata lain, kebijakan ini berupaya untuk menyelaraskan kewajiban agama dengan kewajiban perpajakan, sekaligus mendorong pertumbuhan kegiatan sosial dan ekonomi yang berfokus pada kesejahteraan umat.
Meskipun kebijakan ini sudah diatur secara jelas dalam undang-undang, implementasinya masih menemui berbagai tantangan. Salah satunya adalah kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan prosedur teknis pengurangan pajak melalui zakat. Selain itu, prosedur administratif yang rumit juga menjadi hambatan bagi wajib pajak untuk memanfaatkan kebijakan ini secara maksimal.
Implementasi Zakat sebagai Pengurang Pajak di Indonesia
Implementasi zakat sebagai pengurang pajak di Indonesia masih memiliki beberapa kendala. Priyono et al. (2022) dalam penelitiannya mencatat bahwa meskipun zakat dapat mengurangi penghasilan kena pajak, tingkat partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan kebijakan ini masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai mekanisme pengurangan pajak melalui zakat, serta masih adanya ketidakpastian dalam prosedur administrasi (Priyono et al., 2022).
Iqbal (2022) menambahkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada kolaborasi antara lembaga pengelola zakat dan instansi perpajakan. Salah satu langkah yang disarankan adalah penyederhanaan prosedur administratif dan peningkatan pemahaman melalui program sosialisasi yang lebih intensif. Dalam hal ini, perlu adanya sinergi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan lembaga zakat seperti Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) dalam memberikan informasi yang jelas mengenai cara pelaporan zakat sebagai pengurang pajak (Iqbal, 2022).
Namun, meskipun terdapat hambatan, penelitian oleh Maulida dan Ulfah (2023) menunjukkan bahwa kebijakan ini tetap berpotensi untuk mengurangi beban pajak bagi wajib pajak Muslim, terutama jika implementasinya dapat diperbaiki dan dimaksimalkan. Dengan demikian, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat serta perbaikan dalam prosedur administratif yang lebih sederhana dan transparan (Maulida & Ulfah, 2023).
Zakat dan pajak, meskipun keduanya memiliki tujuan yang hampir serupa dalam hal redistribusi kekayaan, mereka berfungsi dalam sistem yang sangat berbeda. Keberhasilan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak bergantung pada pemahaman masyarakat, prosedur administratif yang lebih efisien, dan kolaborasi antara lembaga zakat dan instansi perpajakan.
.
3. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis. Pendekatan kualitatif dipilih karena dapat memberikan pemahaman mendalam tentang fenomena sosial kompleks seperti implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat mengeksplorasi persepsi, pemahaman, dan pengalaman wajib pajak muslim serta stakeholder terkait dalam memanfaatkan kebijakan tersebut.
Penelitian deskriptif analitis memungkinkan peneliti untuk tidak hanya mendeskripsikan fenomena yang terjadi, tetapi juga menganalisis secara mendalam faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut. Pendekatan ini juga memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi pola, tema, dan hubungan antar variabel yang muncul dari data yang dikumpulkan, sehingga dapat menghasilkan pemahaman komprehensif tentang permasalahan penelitian.
Selain itu, penelitian ini juga mengadopsi pendekatan studi kasus dengan mengambil sampel wajib pajak muslim di beberapa wilayah di Indonesia untuk mendapatkan gambaran yang lebih representatif tentang implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis mendalam terhadap konteks spesifik dan memahami dinamika yang terjadi dalam implementasi kebijakan tersebut di lapangan.
Narasumber
Narasumber dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian. Narasumber utama dalam penelitian ini adalah wajib pajak muslim yang telah memenuhi syarat sebagai wajib zakat (muzakki) dan juga sebagai wajib pajak penghasilan. Kriteria pemilihan wajib pajak muslim ini mencakup: (1) beragama Islam, (2) memiliki NPWP dan melaporkan SPT Tahunan secara rutin, (3) memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), dan (4) membayar zakat baik melalui lembaga resmi maupun secara langsung kepada mustahik.
Untuk mendapatkan perspektif yang komprehensif, penelitian ini juga melibatkan beberapa kelompok narasumber lain, antara lain:
- Pejabat/staf Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang memahami kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak
- Pengurus BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) sebagai lembaga resmi pengelola zakat
- Akademisi dan pakar di bidang perpajakan dan ekonomi syariah
- Ulama atau tokoh agama yang memahami aspek fikih zakat dan kaitannya dengan pajak
- Konsultan pajak yang menangani kasus pelaporan zakat sebagai pengurang pajak
Jumlah narasumber ditentukan berdasarkan prinsip saturasi data, di mana pengumpulan data akan dihentikan ketika informasi yang diperoleh sudah mencapai titik jenuh, yaitu tidak ditemukan lagi informasi baru yang signifikan. Secara umum, direncanakan untuk melibatkan sekitar 30-40 narasumber yang terdiri dari 15-20 wajib pajak muslim dan 15-20 stakeholder lainnya.
Keragaman narasumber ini penting untuk mendapatkan pemahaman holistik tentang implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak dari berbagai perspektif, sehingga dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut secara komprehensif.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa teknik untuk memastikan kedalaman dan validitas informasi yang diperoleh. Teknik utama yang digunakan adalah:
1. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara mendalam dilakukan dengan seluruh narasumber untuk mendapatkan informasi detail tentang pemahaman, persepsi, pengalaman, dan kendala dalam implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur dengan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, namun tetap memungkinkan eksplorasi topik yang muncul selama wawancara berlangsung. Durasi wawancara berkisar antara 60-90 menit untuk setiap narasumber dan direkam dengan izin narasumber untuk memudahkan proses transkripsi dan analisis.
Untuk wajib pajak muslim, wawancara akan berfokus pada pemahaman mereka tentang kebijakan, pengalaman dalam memanfaatkan kebijakan tersebut, kendala yang dihadapi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan mereka untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkan kebijakan tersebut. Sementara untuk stakeholder lainnya, wawancara akan lebih berfokus pada aspek implementasi kebijakan, tantangan dalam sosialisasi dan koordinasi antar lembaga, serta rekomendasi untuk optimalisasi kebijakan tersebut.
2. Focus Group Discussion (FGD)
FGD dilakukan untuk mendapatkan perspektif kolektif dari para narasumber dan mengeksplorasi dinamika interaksi antar berbagai pemangku kepentingan. FGD direncanakan akan dilakukan sebanyak 3-4 sesi dengan komposisi peserta yang berbeda:
- FGD dengan wajib pajak muslim
- FGD dengan pejabat DJP dan pengurus lembaga zakat
- FGD dengan akademisi, ulama, dan konsultan pajak
- FGD gabungan dengan perwakilan dari seluruh kelompok narasumber
Setiap sesi FGD melibatkan 6-8 peserta dan dipandu oleh moderator yang berpengalaman. Diskusi akan berfokus pada identifikasi masalah, analisis faktor penghambat dan pendukung, serta perumusan rekomendasi strategis untuk optimalisasi implementasi kebijakan.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan untuk menganalisis dokumen-dokumen yang relevan dengan implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, termasuk:
- Peraturan perundang-undangan terkait (UU Pajak Penghasilan, UU Pengelolaan Zakat, dan peraturan turunannya)
- Laporan resmi dari DJP dan lembaga zakat tentang implementasi kebijakan
- Formulir dan prosedur pelaporan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak
- Materi sosialisasi yang telah dilakukan oleh DJP dan lembaga zakat
- Publikasi ilmiah dan kajian terdahulu tentang topik tersebut
4. Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati proses pelaporan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak yang dilakukan oleh wajib pajak, termasuk proses pembayaran zakat di lembaga resmi dan proses pelaporan SPT Tahunan yang mencantumkan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Observasi ini akan memberikan pemahaman faktual tentang kendala teknis dan administratif yang dihadapi dalam implementasi kebijakan tersebut.
5. Survei Pendahuluan
Sebelum melakukan wawancara mendalam dan FGD, peneliti akan melakukan survei pendahuluan untuk mendapatkan gambaran umum tentang tingkat pemahaman dan pemanfaatan kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak di kalangan wajib pajak muslim. Survei ini akan dilakukan secara online dengan jumlah responden yang lebih besar (sekitar 100-150 responden) untuk mendapatkan data awal yang dapat menjadi dasar untuk pendalaman melalui wawancara dan FGD.
Triangulasi data dari berbagai teknik pengumpulan ini akan memastikan validitas dan kredibilitas temuan penelitian, serta memberikan pemahaman komprehensif tentang implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak di Indonesia.
Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis tematik yang bersifat induktif-deduktif. Proses analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan sistematis:
1. Pengorganisasian Data
Pada tahap awal, semua data yang terkumpul dari berbagai teknik pengumpulan (wawancara, FGD, dokumentasi, observasi, dan survei) diorganisasikan secara sistematis. Rekaman wawancara dan FGD ditranskripsi secara verbatim (kata per kata), dokumen-dokumen dikelompokkan berdasarkan jenisnya, dan catatan observasi disusun secara kronologis. Pengorganisasian ini dilakukan dengan bantuan software pengolah data kualitatif seperti NVivo untuk memudahkan proses pengelompokan dan analisis selanjutnya.
2. Identifikasi dan Kategorisasi
Setelah data terorganisasi, peneliti melakukan proses identifikasi informasi penting dan mengategorikannya ke dalam kategori tertentu. Dalam tahap ini, peneliti memilah dan memilih informasi yang relevan dengan pertanyaan penelitian, kemudian mengelompokkannya ke dalam kategori-kategori yang memiliki kesamaan karakteristik. Kategorisasi ini membantu peneliti untuk melihat pola dan tema yang muncul dari data.
3. Pengembangan Tema
Berdasarkan hasil kategorisasi, peneliti mengembangkan tema-tema utama yang menjadi fokus analisis. Tema-tema ini mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, tantangan dan kendala dalam implementasi, serta peluang dan strategi optimalisasi. Pengembangan tema dilakukan dengan mempertimbangkan keterkaitan antar kategori dan relevansinya dengan pertanyaan penelitian.
4. Interpretasi Data
Pada tahap interpretasi, peneliti menganalisis secara mendalam makna dari tema-tema yang telah diidentifikasi dan mengkaitkannya dengan kerangka teoretis yang relevan. Interpretasi juga mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi, dan religius yang melatarbelakangi implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak di Indonesia. Dalam tahap ini, peneliti menggunakan pendekatan hermeneutik untuk memahami perspektif narasumber dalam konteks yang lebih luas.
5. Validasi Temuan
Untuk memastikan validitas dan kredibilitas temuan, peneliti melakukan triangulasi dengan berbagai cara:
- Triangulasi sumber: membandingkan data dari berbagai kelompok narasumber
- Triangulasi metode: membandingkan data yang diperoleh dari berbagai teknik pengumpulan
- Member checking: mengonfirmasi interpretasi peneliti kepada narasumber kunci
- Peer debriefing: mendiskusikan temuan dengan rekan peneliti atau pakar di bidang terkait
6. Penarikan Kesimpulan
Tahap akhir analisis adalah penarikan kesimpulan yang menjawab pertanyaan penelitian secara komprehensif. Kesimpulan disusun berdasarkan tema-tema utama yang telah dianalisis dan divalidasi, serta merefleksikan pemahaman mendalam tentang implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak dan strategi optimalisasinya.
Seluruh proses analisis data dilakukan secara iteratif, di mana peneliti bergerak maju dan mundur antara pengumpulan data, kategorisasi, pengembangan tema, dan interpretasi untuk memastikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang fenomena yang diteliti.
Kerangka Analisis
Kerangka analisis dalam penelitian ini dirancang untuk memungkinkan analisis sistematis terhadap implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak di Indonesia. Kerangka ini mengintegrasikan teori implementasi kebijakan publik dengan konteks spesifik zakat dan perpajakan di Indonesia, sehingga memungkinkan pemahaman komprehensif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan tersebut.
1. Dimensi Kebijakan
Dimensi ini berfokus pada aspek substansi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, termasuk:
- Landasan hukum kebijakan (UU No. 36/2008 tentang PPh dan UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat)
- Ruang lingkup dan batasan kebijakan (jenis zakat yang dapat menjadi pengurang, syarat dan ketentuan)
- Mekanisme administratif implementasi kebijakan
- Koherensi kebijakan dengan kebijakan perpajakan dan pengelolaan zakat lainnya
- Prinsip keadilan dalam kebijakan (aspek redistributif)
Analisis dimensi ini bertujuan untuk memahami apakah substansi kebijakan telah dirancang dengan baik dan memiliki dasar yang kuat untuk implementasi yang efektif.
2. Dimensi Kelembagaan
Dimensi ini menganalisis aspek kelembagaan yang terlibat dalam implementasi kebijakan, meliputi:
- Koordinasi antar lembaga (DJP, BAZNAS, LAZ, Kementerian Agama)
- Kapasitas kelembagaan dalam mengimplementasikan kebijakan
- Struktur dan prosedur operasional terkait implementasi kebijakan
- Sistem informasi dan teknologi pendukung
- Transparansi dan akuntabilitas lembaga pengelola zakat dan pajak
Analisis dimensi kelembagaan penting untuk mengidentifikasi hambatan dan peluang pada level organisasional yang berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.
3. Dimensi Sumber Daya
Dimensi ini mengevaluasi ketersediaan dan kecukupan sumber daya untuk mendukung implementasi kebijakan, termasuk:
- Sumber daya manusia (kompetensi dan jumlah personel)
- Sumber daya finansial untuk sosialisasi dan operasional
- Infrastruktur pendukung implementasi kebijakan
- Sistem informasi dan basis data terpadu
- Materi dan media sosialisasi
Kecukupan sumber daya menjadi faktor penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan, sehingga analisis ini akan mengidentifikasi kesenjangan sumber daya yang perlu diatasi.
4. Dimensi Perilaku Wajib Pajak Muslim
Dimensi ini menganalisis faktor-faktor psikologis dan sosial yang mempengaruhi perilaku wajib pajak muslim dalam memanfaatkan kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak:
- Pemahaman dan kesadaran wajib pajak tentang kebijakan
- Persepsi tentang manfaat dan kerugian pemanfaatan kebijakan
- Motivasi religius dan kepatuhan pajak
- Pengalaman dalam pemanfaatan kebijakan
- Pengaruh lingkungan sosial dan referensi kelompok
- Tingkat kepercayaan terhadap lembaga pengelola zakat dan pajak
Analisis dimensi perilaku akan menggunakan model teori perilaku terencana (theory of planned behavior) untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi intensi dan perilaku wajib pajak muslim.
5. Dimensi Nilai dan Norma
Dimensi ini menganalisis aspek nilai, norma, dan persepsi religius yang mempengaruhi implementasi kebijakan:
- Pandangan fikih tentang hubungan zakat dan pajak
- Persepsi keadilan dari perspektif Islam
- Nilai-nilai religius yang mendorong kepatuhan zakat dan pajak
- Norma sosial dalam komunitas muslim terkait zakat dan pajak
- Persepsi tentang peran negara dalam pengelolaan zakat
Analisis dimensi nilai dan norma penting untuk memahami konteks sosiokultural dan religius yang mempengaruhi implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Melalui analisis kelima dimensi ini secara terintegrasi, penelitian akan menghasilkan pemahaman komprehensif tentang implementasi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak dan dapat merumuskan strategi optimalisasi yang menyasar semua aspek penting dalam implementasi kebijakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alim, H. N. (2023). ANALISIS MAKNA ZAKAT DALAM AL-QURAN: Kajian Teks dan Konteks. AKADEMIK: Jurnal Mahasiswa Humanis, 3(3), 161-169.
Ariffin, M., & Sitabuana, T. H. (2022). Sistem perpajakan di Indonesia. SERINA IV UNTAR
Ashari, M. A., & Susilowati, D. (2023). Effect knowledge of zakat as a tax deduction, subjective norma, and behavior control on taxpayer compliance intentions. Jurnal Investasi, 9(1), 24–35. https://doi.org/10.35897/jurnalinvestasi.v9i1.12345
Direktorat Jenderal Pajak. (2022, 30 Desember). Zakat jadi pengurang perhitungan pajak. https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/zakat-jadi-pengurang-perhitungan-pajak
Famulia, L. (2020). Analisis perbandingan hubungan zakat dan pajak di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, 54(1), 27–54. https://doi.org/10.14421/ajish.v54i1.417​:contentReference[oaicite:3]{index=3}
Faruq, U., Adipurno, S., Aziz, A., Faadhilah, N., & Ridwan, M. (2024). Konsep dasar pajak dan lembaga yang dikenakan pajak: Tinjauan literatur dan implikasi untuk kebijakan fiskal. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 16(2), 65-70. https://doi.org/10.55049/jeb.v16i2.306
Hartati, N., & Yuniarti, V. S. (2021). Pajak penghasilan dan zakat dalam perspektif Al-Qur’an dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 serta pengaruhnya terhadap pendapatan negara. Widina Bhakti Persada Bandung.
Hasibuan, S. H. (2020). Tax rebate policy: Relevansinya dengan kebijakan pengelolaan zakat di Indonesia. Lex Renaissance, 5(1), 57–71. https://doi.org/10.20885/JLR.vol5.iss1.art4​:contentReference[oaicite:5]{index=5}
Haskar, E. (2020). Hubungan pajak dan zakat menurut perspektif Islam. Menara Ilmu, 14(2), 28–38. https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/menarailmu/article/view/1879​:contentReference[oaicite:3]{index=3}
Iqbal, M. (2022). Analisis hubungan implementasi zakat pengurang pajak terhadap perspektif stakeholder di Banda Aceh. Journal of Social and Policy Issues, 2(2), 113–119. https://doi.org/10.58835/jspi.v2i2.48​:contentReference[oaicite:3]{index=3}
Ismawati, I., Muchran, M., Khaliq, A., & Wahyuni, W. (2022). Penerapan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak orang pribadi (Studi pada BAZNAS Kabupaten Bulukumba). Al-Buhuts, 18(2), 241–249
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2024, 25 Juni). Kemenag bedah fikih zakat sebagai pengurang pajak. https://kemenag.go.id/nasional/kemenag-bedah-fikih-zakat-sebagai-pengurang-pajak-lmFS5
Maulida, M., & Ulfah, A. (2023). Peluang dan Tantangan Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Pasal 22 Tahun 2011 Tentang Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan. JIOSE: Journal of Indonesian Sharia Economics, 2(2), 191-208. https://doi.org/https://doi.org/10.35878/jiose.v2i2.903
Muhammad, I., & Nor, N. S. M. (2024). Exploring Muslim taxpayers' intentions to reduce tax liability through zakat rebates. Proceeding of International Conference on Accounting & Finance, 2, 167–171.
Nurhadi, Wahyuni Hasibuan, S., Ascarya, Atika Rukminastiti Masrifah, E., Latifah, M., Djahri, M. B. M., Dewindaru, D., Shalihah, B. M., Taufik, M., Triyawan, A., Rakhmawati, T., Indirayuti, T. Y., Mubarrok, U. S., & Pratiwi, H. (2020). Metode penelitian ekonomi Islam. CV. Media Sains Indonesia.
Priyono, S., Istiqomawati, R., & Riyanto, R. (2022). Implementasi Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak (Studi Kasus Baznas Kota Yogyakarta). Equilibrium : Jurnal Ilmu Manajemen, 2(1), 11–19. https://doi.org/10.56393/equilibrium.v2i1.1364
Putra, P. A., Marliyah, & Siregar, P. A. (2023). Zakat dan pajak dalam perspektif syariah. Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian dan Kajian Sosial Keagamaan, 20(1), 79–92. https://doi.org/10.46781/al-mutharahah.v20i1.610​:contentReference[oaicite:5]{index=5}
Ridlo, A. (2014). Zakat dalam perspektif ekonomi Islam. Jurnal Al-‘Adl, 7(1), 119.
Sihombing, S., & Sibagariang, S. A. (2020). Perpajakan: Teori dan aplikasi. Widina Bhakti Persada.
Suryadi, N. (2021). Zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. SYARIKAT: Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, 4(2).
Wahyuni, S. (2020). Akumulasi beban berganda zakat dan pajak dalam perspektif hukum Islam. Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Syariah, 5(2), 54–60. https://doi.org/10.35897/iqtishodia.v5i2.433