Kepemimpinan silih berganti tetapi tujuan tetap satu untuk kemajuan negeri, negara yang memutuskan untuk Berdiri diatas kaki sendiri tanpa meminta bantuan siapapun ternyata tak selamanya berjalan mulus, bantuan dan hutang yang dipinjam dari negara lain menjadi penting dengan alih–alih untuk pembangunan berkelanjutan dan kemajuan di masa mendatang.

Indonesia Emas 2045 menjadi mimpi bagi setiap insan muda yang tumbuh dalam negeri seindah nusantara, bahu membahu memajukan bangsa tapi faktanya hanya memajukan elit dan kekayaannya, silih berganti kepemimpinan korupsi tetap menjadi mimpi buruk setiap periodenya, seperti bukan di brantas tapi dikembangbiakkan dengan bebas, hampir disetiap sisi pemerintahan, korupsi bagai virus yang menjamur tanpa mengenal posisi maupun janji, sumpah jabatan hanya sebatas ucapan untuk menenangkan rakyatnya, bukan untuk ditanamkan dalam diri dan menjadi tanggung jawab sampai selesai jabatan nanti.

Kebijakan tanpa moral yang ditetapkan ugal–ugalan, dengan alasan masa depan rakyat, namun nyatanya uang menghilang dan habis ditangan pejabat, janji – janji manis disebar luas dengan alasan masyarakat tenang tanpa cemas, kebijakan dibuat mengikat bahkan menekan, setiap sisi tatanan masyarakat dibuat bungkam bakan dikenyangkan agar tidak bersuara lantang, hanya dengan tujuan supaya pejabat bisa tenang.

Kebijakan tentang tabungan perumahan rakyat menjadi hal menakutkan, mengingat beberapa uang yang ditipkan ke negara hilang dimakan korupsi begitu saja, kasus Jiwaasraya dan Asabri contohnya. Pemotongan gaji menjadi hal yang perlu dipertimbangkan, ditambah bayang–bayang kemiskinan yang tak bisa dihindarkan, kenaikan PPN, sembako, bahkan UKT menjadi hal mengerikan, rakyat bagai sapi ternak yang dikembangkan lalu dimanfaatkan, nepotisme berkembang tanpa hadangan, perubahan batasan umur yang dilakukan untuk pemilihan kepala daerah di Undang–Undang hanya seperti mengubah hasil ujian pada lembar jawaban.

Pembagian tambang yang diberi izin pemerintah dikelola ormas membuat rakyat semakin cemas, rasanya elit semakin senang dalam kursi pemerintahan sementara rakyatnya mengantri beras panas–panasan, untuk kebijakan tanpa penjelasan dan urgensi yang kurang tepat, mungkin banyak masyarakat yang menolak, meski pejabat sudah meyakinkan bahkan memakssa membuat kebijakan dan peraturan, rakyat sudah tau seperti apa kedepannya nanti, karena kepercayaan rakyat tidak ingin ditukar kembali  hanya dengan sebuah ucapan janji tanpa bukti.

Kematian demokrasi rasanya berada tepat di depan mata, mudah saja bagi elit atas untuk mendiamkan rakyatnya, berikan sesuatu pada setiap partai yang mendukungnya entah jabatan mentri, staf khusus bahkan tambang, selama bisa diam semua digunakan, bungkam oposisi dan persempit ruang geraknya, bungkam mereka habis–habisan sehingga tidak ada lagi ruang gerak yang bisa diisi, sibukkan mahasiswa dengan kenaikan UKT, bungkam media dengan RUU.

penyiaran, ancam warga dengan pasal karet, penjarakan aktivis, intimidasi dan persekusi setiap pengkritik, buat banyak kebijakan dengan keanehan yang dikeluarkan bahkan diputuskan, biarkan rakyat bingung harus mulai mengkritik dan mengawal yang mana lebih dulu.

Naikkan suhu air didalam panci perlahan, supaya katak tidak sadar bahwa dirinya sedang direbus. Buat mereka memaafkan setiap kesalahan kecil yang dibuat, berlindung dibalik selimut keluarga sederhana dan orang baik lama kelamaan kesalahan dan pengingkaran janji apapun akan dimaafkan pendukungnya, ketika nantinya air sudah sampai dititik didih, katak sudah kehilangan daya untuk melakukan apapun lagi, bahkan mati dalam kebijakan yang mereka katakan, dibuat untuk mensejahterakan rakyatnya, namun nyatanya hanya membunuh pelan–pelan rakyatnya sendiri.

Payung hitam masih tegak berdiri setiap hari kamis di depan istana, kemiskinan masih menjadi tanggung jawab besar bagi pemeerintahan negara, perubahan kebijkan secara semena–mena membuat rakyat tak percaya lagi dengan pejabatnya sendiri, setiap sisi pemerintahan rasanya hanya menghasilkan ketakutan dan kekecewaan, kepercayaan rakyat bisa dibeli dengan sembako dan janji, semua berjalan sama bahkan dengan pemerintah yang berbeda karena sepertinya korupsi bukan lagi hal menjijikan tapi sebuah tradisi, bahkan kewajiban, sesuai kalimat terakhir pada film Dirty Vote “untuk menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan hanya dua : mental culas dan tahan malu”