Namun, implementasi konkret dari program ini mengalami berbagai tantangan dan penundaan selama bertahun-tahun. Pada tahun 2016, upaya untuk merealisasikan Tapera semakin serius dengan disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Undang-undang ini menetapkan kerangka kerja yang lebih jelas untuk pengelolaan dan pelaksanaan program Tapera. Tapera ditujukan untuk memperkuat akses perumahan dengan memberikan pembiayaan yang terjangkau bagi pekerja yang menjadi peserta program. Lembaga yang bertugas mengelola dana ini adalah Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Sejak saat itu, BP Tapera mulai merancang dan menyiapkan infrastruktur serta mekanisme pengelolaan dana Tapera. Pada tahun 2020, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2020 sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Tapera. Peraturan ini mengatur tentang pengelolaan, penyaluran, dan penggunaan dana Tapera. Program ini mengharuskan pekerja untuk menyisihkan sebagian dari gaji mereka sebagai tabungan perumahan, yang kemudian akan dikelola oleh BP Tapera untuk memberikan pembiayaan kepemilikan rumah yang terjangkau.

Pelaksanaan program Tapera resmi dimulai pada tahun 2021, dengan target untuk secara bertahap mencakup seluruh pekerja di Indonesia, baik dari sektor formal maupun informal. Program ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan perumahan bagi jutaan rakyat Indonesia yang belum memiliki rumah layak huni. Dengan adanya Tapera, pemerintah berharap dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui akses yang lebih baik terhadap perumahan yang layak dan terjangkau. Seiring berjalannya waktu, efektivitas dan keberlanjutan program ini akan terus dipantau dan dievaluasi untuk memastikan bahwa tujuan utamanya dapat tercapai.

Meskipun program Tapera memiliki tujuan yang mulia, banyak masyarakat mengkritik aspek pengelolaan anggarannya karena dinilai tidak masuk akal. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah harga rumah yang terus meningkat, yang membuat banyak orang skeptis tentang efektivitas Tapera. Program ini mengharuskan pekerja untuk menyisihkan sebagian dari gaji mereka sebagai tabungan perumahan, tetapi kenaikan harga properti yang signifikan dapat membuat jumlah tabungan tersebut tidak mencukupi untuk membeli rumah yang layak dalam jangka waktu yang wajar.

Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan dana Tapera. Banyak yang mempertanyakan apakah BP Tapera mampu mengelola dana yang terkumpul dengan efektif dan bebas dari korupsi. Sejarah pengelolaan dana publik di Indonesia yang sering kali disertai dengan kasus penyalahgunaan dana menambah keraguan masyarakat terhadap program ini. Kepercayaan publik yang rendah terhadap pengelolaan dana oleh pemerintah menjadi tantangan besar bagi keberhasilan Tapera. Lebih jauh, struktur kontribusi Tapera dianggap memberatkan bagi sebagian pekerja, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Bagi kelompok ini, menyisihkan sebagian dari gaji untuk tabungan.
perumahan bisa menjadi beban tambahan yang signifikan, terutama di tengah biaya hidup yang terus meningkat. Tanpa subsidi atau insentif yang memadai, program ini bisa jadi tidak memberikan manfaat yang sepadan dengan pengorbanan yang harus dilakukan oleh para peserta.

Kemudian, ada juga masalah distribusi dan aksesibilitas. Meskipun program ini dirancang untuk membantu seluruh pekerja, baik formal maupun informal, realitasnya seringkali berbeda. Pekerja di sektor informal mungkin menghadapi kesulitan untuk menjadi peserta program ini karena kurangnya mekanisme yang jelas dan terstruktur untuk mengikutsertakan mereka. Akibatnya, mereka yang seharusnya paling membutuhkan bantuan perumahan malah tidak dapat memanfaatkan program Tapera.

Masalah selanjutnya adalah ketersediaan lahan dan pembangunan perumahan yang memadai juga menjadi sorotan. Meski dana Tapera terkumpul, tanpa adanya kebijakan dan upaya konkret perencanaan lingkungan yang baik untuk memastikan pembangunan perumahan yang cukup dan sesuai standar, program ini tidak akan mencapai tujuannya. Pemerintah perlu bekerja sama dengan pengembang, pemerintah daerah, dan pihak terkait lainnya untuk memastikan bahwa pembangunan perumahan dapat memenuhi permintaan yang tinggi. Tanpa adanya langkah-langkah yang nyata untuk mengatasi masalah ini, Tapera berisiko menjadi program yang tidak efektif dan gagal memenuhi harapan masyarakat.

Di tambah juga dengan kondisi masyarakat desa dalam konteks program Tapera dan kesejahteraan ekonomi secara umum, tentunya ada ketimpangan ekonomi antara desa dan kota. Pendapatan di desa umumnya lebih rendah dibandingkan dengan di kota, yang membuat beban program Tapera menjadi lebih berat bagi penduduk desa.

Dengan pendapatan yang komulatif lebih rendah, menyisihkan sebagian dari gaji untuk tabungan perumahan menjadi tantangan besar, terlebih lagi jika harga kebutuhan pokok terus meningkat. Ketimpangan ini menimbulkan kesulitan bagi masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, apalagi menabung untuk perumahan.

Selain itu juga masalah gaji Upah Minimum Regional (UMR) menjadi isu yang krusial. UMR di berbagai daerah sering kali tidak sebanding dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Di beberapa daerah, harga kebutuhan pokok seperti beras, telur harga pokok bahan pangan lainnya pernah mencapai angka yang sangat tinggi, seperti Rp 150.000 per kilogramnya. Harga yang melonjak ini jauh melampaui kemampuan banyak keluarga yang hanya mengandalkan gaji UMR. Hal ini menunjukkan bahwa gaji UMR saat ini tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama bagi mereka yang memiliki keluarga untuk dihidupi.

Masalah ini diperparah oleh minimnya akses terhadap peluang ekonomi yang berkelanjutan di desa. Infrastruktur yang kurang memadai, akses terbatas ke pasar, dan kurangnya investasi di sektor pertanian dan industri kecil menyebabkan banyak penduduk desa sulit meningkatkan pendapatan mereka. Dengan demikian, tanpa adanya peningkatan ekonomi di desa, program Tapera menjadi semakin tidak realistis bagi mereka, karena dana yang seharusnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok harus dialihkan untuk tabungan perumahan yang mungkin baru bisa dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang.

Untuk itu, solusi yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah pemerintah perlu melakukan upaya lebih besar dalam meningkatkan ekonomi pedesaan melalui program pembangunan infrastruktur, peningkatan akses ke pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta dukungan terhadap sektor pertanian dan usaha kecil. Dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi di desa, pendapatan masyarakat desa bisa meningkat dan mereka bisa lebih mampu berpartisipasi dalam program Tapera tanpa mengorbankan kebutuhan dasar mereka.

Selain itu, revisi terhadap kebijakan UMR juga sangat penting. Penetapan UMR harus lebih realistis dan didasarkan pada biaya hidup yang sebenarnya di berbagai daerah. Pemerintah harus melakukan kajian mendalam dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa UMR yang ditetapkan mampu memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja dan keluarganya. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan secara menyeluruh, sehingga program Tapera dan program-program kesejahteraan lainnya dapat berjalan lebih efektif dan memberikan manfaat yang nyata bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk mereka yang tinggal di desa.

Maka untuk mengatasi masalah pengelolaan Tapera yang dinilai tidak masuk akal oleh masyarakat, salah satu solusi yang layak dipertimbangkan adalah mengelola dana Tapera dengan pendekatan investasi layaknya Dana Abadi yang diterapkan dalam program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Dengan menginvestasikan dana yang terkumpul, BP Tapera dapat memperoleh keuntungan yang berkelanjutan yang tidak hanya melawan inflasi sekitar 5%, tetapi juga mengimbangi kenaikan harga rumah yang terus meningkat.

Pertama, dana Tapera dapat diinvestasikan dalam portofolio yang terdiversifikasi, mencakup instrumen keuangan yang relatif aman seperti obligasi pemerintah, saham-saham unggulan, dan instrumen pasar uang. Pendekatan ini akan memungkinkan dana yang terkumpul untuk tumbuh dengan stabil dan menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk mendukung program perumahan. Model ini telah terbukti berhasil dalam pengelolaan Dana Abadi LPDP, yang mampu membiayai ribuan beasiswa setiap tahunnya melalui hasil investasinya.

Kedua, dengan menggunakan strategi investasi, BP Tapera dapat menjaga daya beli dana yang terkumpul. Melawan inflasi merupakan salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan dana jangka panjang. Dengan investasi yang bijak, Tapera dapat memastikan bahwa nilai tabungan peserta tidak tergerus inflasi, sehingga daya beli masyarakat terhadap perumahan tetap terjaga. Misalnya, jika inflasi tahunan sekitar 5%, pengembalian investasi yang lebih tinggi akan membantu menjaga nilai riil dari tabungan perumahan.

Ketiga, keuntungan dari investasi dapat digunakan untuk memberikan subsidi silang bagi peserta yang berpenghasilan rendah. Dengan demikian, BP Tapera tidak hanya mengelola dana secara pasif, tetapi juga aktif memberikan manfaat lebih besar kepada mereka yang paling membutuhkan. Subsidi ini bisa berupa bantuan tambahan dalam bentuk potongan harga rumah, bunga pinjaman yang lebih rendah, atau bentuk insentif lainnya yang meringankan beban peserta.

Keempat, penerapan prinsip-prinsip good governance dan transparansi dalam pengelolaan investasi sangat penting. BP Tapera harus memastikan bahwa setiap langkah investasi dilakukan dengan hati-hati, melalui analisis risiko yang mendalam dan pengawasan yang ketat. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap program ini dapat meningkat. Laporan berkala tentang kinerja investasi dan penggunaan dana harus disampaikan secara terbuka kepada peserta dan masyarakat luas.

Kelima, untuk mendukung pengelolaan berbasis investasi ini, BP Tapera perlu membangun kapasitas internal yang kuat, termasuk tim investasi yang kompeten dan berpengalaman. Mereka harus mampu mengambil keputusan investasi yang tepat dan responsif terhadap dinamika pasar. Selain itu, kolaborasi dengan lembaga keuangan dan investasi profesional juga bisa menjadi strategi untuk mengoptimalkan hasil investasi.

Terakhir, mengedukasi peserta mengenai mekanisme baru ini sangat penting agar mereka memahami manfaat jangka panjang dari model pengelolaan berbasis investasi. Sosialisasi yang baik akan membantu meningkatkan partisipasi dan kepercayaan peserta, serta memastikan bahwa mereka tetap berkomitmen terhadap program Tapera. Dengan langkah-langkah ini, Tapera dapat bertransformasi menjadi program yang tidak hanya mengumpulkan dana, tetapi juga memberikan nilai tambah yang nyata bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan perumahan yang layak.

Maka dengan pertimbangan yang matang dan di dorong dengan dialog publik sebelum pengesahan kebijakan, menjadikan sebuah aturan yang disahkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun kedepan t idak menimbulkan kecemasan dan penurunan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Ini lah yang seharusnya menjadi atensi khusus oleh pemerintah dalam melakukan uji kelayakan terhadap suatu legislasi atau pun peraturan. Maka sampai kapan pun, sikap kami adalah menolak dan harus dicabut terhadap putusan TAPERA dan Keputusan lain yang di bentuk atau di susun tanpa adanya dialog dengan stake holder khususnya masyarakat. Wallahu A’lam Bissawab