Paradoksikal Startup Untuk Kemajuan Ekonomi Bangsa

Jatuhnya Ekosistem Startup Indonesia

Pasca Covid kita melihat berbagai startup digital mulai berguguran karena berbagai sebab. Ada yang kehabisan modal, tidak relevannya produk karena habit konsumen yang berubah, hingga tidak bisa memenangkan persaingan dengan startup  lainnya. Awal tahun 2025 ini kita dikejutkan dengan berita bahwa Bukalapak resmi menutup lini bisnis marketplace yang dulu menghantarkannya menjadi startup berstatus unicorn dari Indonesia. Mundurnya Bukalapak dari persaingan platform marketplace Indonesia sebenarnya sudah diprediksi oleh banyak pihak, setelah berturut-turut kalah bersaing dengan platform yang lebih segar dan inovatif seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada. Sebagai Gambaran, menurut situs similarweb pada tahun 2023 kunjungan pada platform Bukalapak hanya sekitar 7% dari pengunjung Shopee.

Belum tuntas kagetnya, tiba-tiba muncul Kembali berita tentang e-fishery, startup aquakultur pertama di asia yang sempat mengharumkan nama Indonesia di ekosistem startup global sebagai unicorn yang telah berhasil membukukan laba ditengah keraguan orang banyak terhadap sistem "bakar uang" yang digunakan para startup untuk menaikkan growth secara cepat. Normalisasi exponensial growth dengan kompensasi biaya besar yang umumnya digunakan dari dana para investor, telah berakhir. E-fishery dicitrakan tampil sebagai bukti bahwa pengelolaan bisnis startup tanpa bakar uang di tahap retail mampu membuahkan hasil. Sang founder pun kerap mengisi berbagai acara hingga di event-event internasional. Namun kemudian muncul kabar bahwa efishery telah memanipulasi laporan keuangannya sejak 2018 sehingga laba yang ditampilkan tidak sebesar realitanya. Kabar ini bukan hanya memukul bagi startup terkait, tetapi juga ekosistem startup Indonesia secara keseluruhan. Premisnya adalah, investasi pada startup yang terlihat bagus pun ternyata tidak membuahkan hasil, apalagi menaruh harapan pada yang belum terlihat Cahaya di ujung jalannya.

Bila kita melihat data yang dirilis oleh Kementerian perdagangan, potensi ekonomi digital Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dan akan mencapai 146 Miliar USD pada 2025. Kue ekonomi ini di dominasi dari sektor e commerce sekitar 104 miliar USD disusul oleh transportasi 16,8 miliar USD dan media di 15,8 miliar USD. Namun realita yang saat ini dihadapi terjadi penurunan investasi asing yang masuk ke Indonesia (tech winter) sejak 2021 dan menyentuh level terendah pada 2024 sebesar 764 juta USD setelah sebelumnya pada 2021 mencapai 6,9 miliar USD. Selain faktor covid, kinerja startup Indonesia juga sampai sekarang belum bisa dianggap baik. GOTO contohnya, sepanjang tahun 2023 lalu membukukan kerugian hingga 90 triliun rupiah. Bukalapak (BUKA) meskipun berhasil meningkatkan pendapatan, tapi tetap saja membukukan kerugian hingga 1,36 triliun rupiah. Startup lain yang belum melantai di bursa agak sulit melihat kinerja resminya, tapi mostly not so great too. Beberapa startup fintech juga sudah berguguran, bahkan yang belum lama mendapatkan pendanaan seperti TaniHub juga akhirnya menyerah. Fenomena ini bukan hanya kebetulan, tapi menggejala bahkan hingga lintas sektor industri. Benarkah Indonesia sudah siap untuk mengembangkan ekonomi digital?

Minimnya Kontribusi Startup pada Industrialisasi

Pengembangan ekonomi digital di Indonesia sayangnya dipandang sebagai cara cepat untuk mendapatkan sumber ekonomi dengan minim investasi. "Hanya" bermodalkan laptop bisa menarik investasi asing hingga miliaran dolar. Padahal valuasi tersebut bersifat sangat volatile yang bisa naik dan turun secara tiba-tiba dengan cepat. Startup yang saat ini juga menjadi unicorn dari Indonesia, semuanya bergerak di bidang Jasa yang minim kontribusinya untuk menggerakkan industri local. Nilai ekonomi besar marketplace menunjukkan aktivitas konsumsi masyarkat Indonesia yang semakin gemar berbelanja online. Padahal barang murah yang didapatnya tidak diproduksi oleh produsen Indonesia. Terlebih lagi jika kita melihat Grup bisnis Alibaba adalah pemegang saham terbesar Lazada Indonesia, demikian juga dengan Tokopedia yang 75% sahamnya sudah dikuasai oleh bytedance (Tiktok). Tentu saja ini akan semakin memudahkan masuknya produk-produk China ke Indonesia.

Berbeda dengan platform marketplace Alibaba yang justru berhasil menyerap pembeli dari mancanegara untuk mendorong pertumbuhan industri China. Sebagai contoh aplikasi Temu yang memudahkan pembeli dari Amerika Serikat membeli barang dari China dengan gratis biaya pengiriman. Pada 2024 Temu menjadi aplikasi yang paling banyak diunduh oleh generasi muda Amerika Serikat dan saat ini menjadi platform belanja favorit disana setelah Amazon. Setiap transaksi yang terjadi di platform tersebut, berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi di China. Hal ini yang minim sekali kontribusinya di platform marketplace favorit di Indonesia, dimana platform besutan anak bangsa lebih mudah untuk menjual produk luar negeri karena investor terbesarnya dari luar negeri. Sehingga perkembangan startup yang didorong oleh Pemerintah, seolah tidak terintegrasi dengan pertumbuhan industri sektor riil yang ada. Data lain juga menunjukkan bahwa kontribusi industri pengolahan terhadap PDB nasional cenderung menurun selama dekade terakhir, dari 21,76% pada 2011 menjadi 19,88% pada 2020. Ini menunjukkan kemampuan industri memberikan kontribusi langsung pada perekonomian yang semakin melemah.

Ekonomi digital memang memberi ruang bertumbuh baru bagi Indonesia yang tertinggal jauh dalam hal perkembangan teknologi industri sehingga bisa dipandang Kembali dalam kompetisi ekonomi global. Namun bila perkembangan startup tidak terintegrasi dengan potensi dan UMKM dalam negeri, yang terjadi adalah kita akan dianggap hanya sebatas Pasar dan sedikit sekali menikmati kue ekonomi yang seharusnya bisa dinikmati oleh Indonesia. Tidak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Semua pekerjaan rumah Indonesia yang tertinggal, memang tetap harus dikejar sehingga pertumbuhan ekomomi yang dihasilkan dibangun pada pondasi ekonomi yang kokoh.