Di negara-negara ini, pinjaman pendidikan sering kali merupakan satu-satunya cara bagi banyak mahasiswa untuk mengakses pendidikan tinggi.

Dengan memberikan akses ke pinjaman pendidikan, kita memungkinkan lebih banyak individu untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk sukses di pasar kerja global.

Biaya kuliah di universitas negeri maupun swasta terus meningkat setiap tahun, dan banyak keluarga yang kesulitan membiayai pendidikan anak-anak mereka.

Hal ini tidak terlepas dari tingginya minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi guna meningkatkan peluang kerja dan pendapatan di masa depan.

Salah satunya adalah tingkat pengembalian yang rendah. Berdasarkan pengalaman di negara lain, banyak mahasiswa yang kesulitan membayar kembali pinjaman mereka setelah lulus karena belum mendapatkan pekerjaan yang layak.

Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa ahli menyarankan adanya program pengampunan pinjaman atau penyesuaian pembayaran berdasarkan pendapatan.

Di Australia, misalnya, pinjaman pendidikan dibayar kembali melalui sistem pajak penghasilan, sehingga hanya lulusan yang berpenghasilan di atas ambang batas tertentu yang diwajibkan membayar kembali.

Pemerintah dapat memberikan subsidi bunga atau jaminan pinjaman untuk mengurangi risiko bagi lembaga keuangan.

Ini akan membantu mereka membuat keputusan yang lebih bijak tentang penggunaan pinjaman pendidikan.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, bisa berpotensi menciptakan krisis utang mahasiswa seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Salah satunya adalah melalui program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang memberikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu.

Beberapa bank dan lembaga keuangan sudah mulai menawarkan produk pinjaman pendidikan dengan berbagai skema dan bunga yang kompetitif.

Regulasi ini harus mencakup mekanisme pengajuan, penyaluran, dan pengembalian pinjaman, serta perlindungan bagi mahasiswa sebagai konsumen.