Kata Sri Mulyani Angka BPS Tunjukkan Tren Perbaikan Kesejahteraan RI!
Tidak bisa dimungkiri, data yang disampaikan Ibu Sri Mulyani itu memang berdasarkan rilis resmi BPS. Misalnya:
- Penurunan Kemiskinan: Sejak Maret 2024, jumlah penduduk miskin disebut berkurang sekitar 1,37 juta orang. Ini artinya, secara statistik, ada lebih sedikit keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
- Pengangguran Menurun: Tingkat pengangguran juga turun dari 4,82% di Februari 2024 menjadi 4,76% per Februari 2025. Angka ini menunjukkan ada penyerapan tenaga kerja.
- Penciptaan Lapangan Kerja: Yang menarik, disebut ada penambahan 3,59 juta lapangan kerja baru. Wow, angka ini tentu bikin optimis kalau dari sisi suplai pekerjaan, ada perkembangan positif.
Menguak 'Misteri' di Balik Angka Kenapa Lapangan Kerja & Kesejahteraan Belum Merata?
Meskipun angka-angka di atas menunjukkan tren positif, kok ya masih banyak teman atau saudara kita yang kesulitan mencari pekerjaan, atau merasa pendapatannya belum cukup? Ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan "gap" ini:
1. Definisi dan Kualitas Lapangan Kerja:
o Tidak Semua Formal: Pertambahan lapangan kerja jutaan itu, apakah semuanya pekerjaan formal dengan gaji stabil dan jaminan sosial? Bisa jadi, banyak di antaranya adalah pekerjaan informal, paruh waktu, atau di sektor gig economy (ojol, kurir, dll.) yang sifatnya rentan dan belum tentu stabil.
o Gaji Minimum: Pekerjaan yang tersedia mungkin gajinya pas-pasan atau bahkan di bawah ekspektasi, sehingga meskipun punya pekerjaan, secara finansial masih terasa berat.
2. Pertumbuhan Angkatan Kerja vs. Penyerapan:
o Setiap tahun, lulusan baru dari sekolah dan universitas terus bertambah, menambah jumlah angkatan kerja yang mencari pekerjaan. Meskipun ada jutaan lapangan kerja baru, jika penambahan pencari kerja lebih cepat, persaingan tetap ketat.
3. Kesenjangan Keterampilan (Skill Mismatch):
o Bisa jadi, lapangan kerja yang tersedia membutuhkan keterampilan tertentu yang tidak dimiliki oleh mayoritas pencari kerja. Atau sebaliknya, banyak pencari kerja punya kualifikasi tinggi, tapi pekerjaan yang tersedia justru lebih banyak untuk level entry atau non-spesialis.
o Dunia kerja bergerak cepat, ada keterampilan baru yang dibutuhkan, dan kita perlu terus up-skill atau re-skill.
4. Distribusi Lapangan Kerja:
o Pertumbuhan lapangan kerja mungkin lebih terpusat di kota-kota besar atau sektor tertentu saja. Sementara di daerah lain, peluang masih terbatas. o Ini membuat pencari kerja harus merantau atau bersaing lebih keras di wilayahnya.
5. Inflasi dan Biaya Hidup:
o Meskipun pendapatan naik, jika inflasi dan biaya hidup (terutama harga bahan pokok) juga naik, peningkatan pendapatan bisa terasa hampa. Kesejahteraan masyarakat akan terasa stagnan jika daya beli tidak meningkat signifikan
Dari Data ke Aksi Nyata Bagaimana Kita Bisa Dorong Kesejahteraan yang Merata?
Melihat kedua sisi ini, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan:
- Data Itu Penting, tapi Bukan Segalanya: Angka-angka makro dari BPS memang menunjukkan progres. Ini adalah indikator penting bagi pembuat kebijakan. Namun, pengalaman individu di kenyataan lapangan juga tak kalah penting untuk dipahami.
- Peran Pemerintah Tetap Krusial: Pemerintah perlu terus mendorong penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, memastikan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar, serta menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat. Kebijakan harus tepat sasaran agar dampaknya terasa hingga ke level individu dan keluarga.
- Inisiatif Individu: Sebagai masyarakat, kita juga perlu proaktif. Terus belajar keterampilan baru, beradaptasi dengan perubahan pasar kerja, atau bahkan menciptakan peluang sendiri melalui kewirausahaan.
Jadi, meskipun ada kabar baik dari Sri Mulyani dan Data BPS, kita juga perlu realistis dan terus berupaya bersama. Memahami kompleksitas ini adalah langkah awal untuk mendorong perubahan yang lebih baik dan memastikan kesejahteraan masyarakat Indonesia benar-benar dirasakan oleh semua.