Daya Beli Turun Pengusaha Sebut Masyarakat Tak Punya Uang Lagi Ini Alarm buat Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan vs Daya Beli: Dua Dunia yang Berbeda

Di Forum "Driving Inclusive Growth" di Universitas Paramadina (20/7/2025), Arsjad Rasjid ngasih penekanan penting: "Fokus saat ini... bukan hanya soal economic growth yang hanya 4,7 persenan, tapi adalah daya beli masyarakat yang terus menurun."

Intinya gini: Angka pertumbuhan ekonomi makro mungkin masih hijau, tapi realita di lapangan, di dompet masyarakat biasa, beda cerita. Daya beli terus melemah, dan menurutnya, ini tanda kalau uang beredar buat belanja sehari-hari udah benar-benar tipis. "Karena itu daya beli turun," tegasnya.

Gempuran Global Bikin Semakin Sulit

Arsjad nunjukin jari ke faktor luar negeri yang ikut bikin ekonomi kita sempoyongan:

  1. Konflik Timur Tengah: Perang dan ketegangan bikin harga energi & komoditas global fluktuatif.

  2. Kebijakan Donald Trump: Kebijakan proteksionis atau perdagangan AS selalu punya dampak global.

  3. Perang Rusia-Ukraina: Sudah berlarut-larut, terus ganggu rantai pasok dan harga pangan/energi.

  4. Melambatnya Ekonomi China: Negeri Tirai Bambu yang biasanya jadi mesin pertumbuhan global juga sedang ngerem. Ini berimbas ke permintaan ekspor dan tekanan ekonomi dunia, termasuk kita.

Masalah Dalam Negeri: Ketenagakerjaan Rapuh Jadi Biang Kerok

Tapi, bagi Arsjad, musuh terbesar justru ada di rumah sendiri. Selain daya beli yang lunglai, dia soroti masalah ketenagakerjaan yang rapuh:

  • Pengangguran Masih Tinggi: Meski tingkat pengangguran terbuka turun, jumlah absolutnya masih mencapai 7,28 juta orang. Itu banyak banget!

  • Dominasi Sektor Informal: Yang lebih mengkhawatirkan, hampir 60% angkatan kerja Indonesia bergantung pada sektor informal. "Hal ini menunjukkan lemahnya penciptaan lapangan kerja formal di Indonesia," tegas Arsjad.

Kenapa Sektor Informal & Struktur Ekonomi Ini Masalah?

Arsjad ngasih penjelasan krusial: Struktur ekonomi Indonesia sangat bergantung pada dua kelompok utama:

  1. Pedagang: Yang hidup dari laba usahanya.

  2. Pekerja: Yang mengandalkan upah, bonus, dan penghasilan lainnya.

Nah, daya beli itu sumber utamanya ya dari dua kelompok ini. Arsjad ngasih peringatan keras: "Jika dua sumber itu tidak lagi ada, maka growth economy tidak akan ada lagi, pasti menurun tajam." Intinya, kalau pedagang sepi dan pekerja gajinya stagnan/kagak cukup, daya beli ambruk, ekonomi pun ikut jatuh.

Peringatan Keras: Stagnasi Bahkan Perlambatan Lebih Dalam

Arsjad Rasjid meminta semua pihak (pemerintah, pengusaha, stakeholders) memberi perhatian serius pada isu daya beli ini. Dia ngasih alarm: Kalau situasi ini dibiarkan, bukan cuma stagnasi (mandek) yang mengancam, tapi bahkan perlambatan ekonomi yang lebih dalam.

Jadi, Apa Artinya Buat Kita?

Pernyataan keras dari petinggi KADIN ini bukan cuma buat pengusaha atau pemerintah. Ini cerminan kondisi riil yang mungkin banget kita rasain sehari-hari. Harga kebutuhan naik, tapi kemampuan beli malah menyusut. Lapangan kerja formal terbatas, banyak yang bertahan di sektor informal yang rentan.

Ini jadi alarm buat semua: Butuh kolaborasi nyata buat menciptakan lapangan kerja formal yang berkualitas, menjaga stabilitas harga, dan yang paling utama, mengembalikan daya beli masyarakat sebagai jantung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Kalau jantungnya lemah, tubuh ekonominya bakal sakit.

Artikel ini dikembangkan berdasarkan pemberitaan dari Detikcom tanggal 20 Juli 2025

Fasilitas Universitas Tazkia (Kampus Tazkia)

Fasilitas KampusTazkia MasjidTazkia