Indonesia merupakan salah satu negara maritim terluas di dunia dengan kekayaan alam laut yang luar biasa. Menurut data dari fact world[1], Indonesia berada pada urutan ketiga dunia setelah Kanada dan Norwegia untuk negara dengan garis pantai terpanjang yaitu 54.716 km.
Dengan adanya tren kenaikan suhu dunia akibat perubahan iklim, dampaknya akan sangat terasa bagi negara-negara yang mempunyai garis pantai panjang karena potensi ancaman terhadap kehidupan masyarakat pesisir akibat naiknya permukaan air laut, erosi dan abrasi serta bahaya ekologi lainnya. Di samping itu tingkat polusi di laut akibat sampah plastik dari hulu turut menyebabkan rusaknya perairan di sekitar muara pantai.
Dalam Surat Ar Ruum ayat 41, Allah berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Oleh sebab itu, manusia harus melakukan tindakan dan upaya untuk memperbaiki alam dan mencegah kerusakan yang lebih parah. Salah satu program yang sedang dilakukan adalah program Blue economics.
Ekonomi Biru
Istilah ekonomi biru atau “Blue Economics” muncul pada konferensi Rio+20 pada tahun 2012 yang menekankan pada konservasi sumberdaya laut dan manajemen yang berkelanjutan. Senada dengan ekonomi hijau (Green economics), blue economics bertujuan meningkatkan taraf hidup dan sosial masyarakat pesisir pada khususnya sembari mengurangi dampak lingkungan dan bencana ekologi yang berkaitan dengan pantai dan laut.
Terkait dengan blue economics, badan dunia seperti worldbank dan UNDP menyebutkan beberapa kriteria proyek yang masuk kategori blue economics, antara lain:
- Mendukung perikanan berkelanjutan dan mencegah over-fishing
- Membangun ekosistem masyarakat pesisir yang lebih sejahtera
- Mengurangi polusi laut dan pengelolaan sampah.
- Pembangunan dan pengelolaan sumber energi baru dan terbarukan di ekosistem pantai/laut
Tantangan terbesar dari pembangunan berdasarkan program blue economics adalah penyediaan sumber pendanaan untuk membiayai proyek-proyek tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, penulis menggagas sebuah ide yaitu dengan penerbitan produk investasi syariah berupa sukuk yang disebut Blue Sukuk.
Blue Sukuk
Blue sukuk dapat diterbitkan dengan mengacu pada skema yang mirip pada Green Sukuk. Ia dapat diterbitkan oleh Pemerintah, Perusahaan Swasta ataupun Lembaga keuangan. Khusus untuk sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah, dapat berupa sukuk biru global (Global Blue Sukuk) dengan denominasi mata uang asing dan juga dalam bentuk sukuk ritel ataupun sukuk tabungan (Retail Blue Sukuk) dengan denominasi rupiah. Tenor yang dapat digunakan juga bisa dalam jangka menengah (3-5 tahun) ataupun panjang( 10 tahun), disesuaikan dengan proyek blue economics yang didanai. Lebih lanjut, sebagaimana green sukuk, opsi skema sukuk berbasis ijarah dan wakalah bil istithmar dapat menjadi pilihan oleh penerbit sukuk.
Kelebihan dari blue sukuk dibanding blue bond adalah dari cakupan investor, ia mampu menjaring baik investor konvensional maupun investor syariah. Yang kedua, ia juga akan menarik minat investor yang peduli pada penyelamatan lingkungan berbasis laut dan maritim, sehingga dapat masuk pada kategori SRI Sukuk yaitu Socially Responsible Investment yang mulai menjadi tren produk investasi global.
Penerbitan Blue Sukuk
Ada hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum penerbitan blue sukuk. Pertama, menentukan tujuan penggunaan dana yang diperoleh dari penjualan sukuk (proceeds). Dalam blue sukuk, proyek yang berkaitan dengan konservasi laut, peningkatan kesejahteraan nelayan serta eksplorasi sumber energi terbarukan di laut dapat menjadi prioritas. Kedua, pemilihan dan evaluasi proyek yang terpilih dengan tujuan memastikan bahwa dana hasil penerbitan sukuk memang sesuai dengan obyektif penerbitan sukuk dan kesyariahan proyek tersebut sudah mendapat fatwa dari dewan syariah nasional.
Ketiga, review dari pihak eksternal untuk memberikan penilaian yang independen dan obyektif dari proyek ekonomi biru yang akan dibiayai oleh sukuk. Laporan dari pihak eksternal juga akan meningkatkan kepercayaan dari investor akan ke’biruan’ (blueness) dari proyek sukuk tersebut.[2]
Setelah penerbitan sukuk, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, manajemen penggunaan dana sukuk dan yang kedua pelaporan secara rutin, termasuk hasil dari pengawasan penggunaan dana sukuk, impact serta dampak positif dari penerbitan tersebut.
Selain hal-hal tersebut di atas, diperlukan juga infrastruktur pendukung dalam penerbitan blue sukuk. Sebagai contoh,perlu adanya blue certification schema, yaitu ada sebuah Lembaga yang bertugas memberikan sertifikasi bahwa sebuah proyek yang akan didanai oleh blue sukuk telah memenuhi persyaratan “blue-ness”.
Penutup
Dengan adanya penerbitan blue sukuk, diharapkan dapat mendorong implementasi program blue economics di Indonesia yang pada akhirnya dapat mendukung kelestarian laut, kesejahteraan masyarakat pesisir serta terbangunnya sumber energi baru dan terbarukan. Di samping itu, turut mendorong pemulihan iklim dan mengurangi tingkat polusi laut.
Keuntungan lain adalah investor syariah mendapatkan tambahan pilihan investasi sebagai bagian diversifikasi portofolio mereka yang turut mendukung program pemerintah dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG).
Oleh Wiku Suryomurti, PhD
Ekonom dan ahli Keuangan Syariah
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Syariah, IAI Tazkia
[1] https://www.cia.gov/the-world-factbook/field/coastline/
[2] https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/34569/Pioneering-the-Green-Sukuk-Three-Years-On.pdf